MAKALAH
Adu Jotos Anggota DPR RI, Bentuk Ketidaktaatan Terhadap Peraturan
Kode Etik
Mata Kuliah : Administrasi Pemerintahan
Dosen pengampu :
Drs. H. Nur Syamsudin M.Ag
Kelompok
4:
1.
Wahyu supriyo (122211075
)
2.
Evi Nur Fitria (1402026011)
3.
Ahmad Dhani S (1402026012)
4.
Akbar Azhari (1402026023)
5.
Gus M. Dhiyaul (1402026024)
6.
Siti Khalimatun (1402026030)
7.
Ahmad Zamroni (1402026035)
8.
M. Bahrul Ulum (1402026043)
Fakultas
Syariah
Universitas Islam Negeri
Walisongo
Semarang
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang menganut kedaulatan
rakyat, keberadaan lembaga perwakilan hadir ditengah masyarakat guna mewujudkan
suatu pemerintah yang menjujung demokrasi. Lewat lembaga perwakilan tersebut,
kepentingan rakyat dapat ditampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan
umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Adanya lembaga perwakilan rakyat, juga
harus dibarengi dengan lembaga pengawas, untuk mengawasi kinerja anggota
perwakilan rakyat, baik dari kebijakan, pelaksanaan tugas, sampai etika dari para
elite politik sehingga diperlukan Badan Kehormatan (BK) di DPR yang merupakan
respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk.
Dalam pelaksanaanya, terdapat sekelompok masyarakat yang
kritis terhadap parlemen dan memberikan point merah terhadap kinerja dewan
Badan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota DPR dinilai belum seluruhnya
dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal sesuai dengan kode etik yang
berlaku. Tidak hanya itu, inisiatif dan respons BK DPR terhadap pelanggaran
kode etik yang dilakukan anggota DPR juga dianggap masih sangat rendah. Dan
sebagai contoh pelanggaran kode etik yang saat ini terjadi dalam lembaga
legislatif yaitu insiden adu jotos anggota dewan yang melibatkan
Wakil Ketua Komisi VII yang berasal dari Partai Demokrat yaitu Mulyadi, dengan
anggota Komisi VII fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mustofa Assegaf.
Kejadian tersebut kini masih ditangani oleh Majlis Kehormatan Dewan (MKD).
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba
menganalisa mengenai pelanggaran kode etik yang melibatkan anggota DPR RI yaitu
Mulyadi dan Mustofa Assegaf. Sebagaimana perbuatan yang dilakukan kedua dewan
tersebut sangat bertentangan dengan peraturan kode etik yang terdapat dalam
tubuh DPR. Selain analisa kasus tersebut, dalam makalah ini juga kita paparkan
bagaimana perencanaan, formulasi, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap pelaksanaan
kode etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas
maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1. Etika dan Kode Etik Pegawai Publik
a. Bagaimana Pengertian Etika Pegawai
Publik?
b. Bagaimana Kode Etik Pegawai Publik?
c. Bagaimana Manfaat Kode Etik ?
2. Kode Etik DPR RI
a. Bagaimana Perencanaan Kode Etik DPR RI?
b. Bagaimana Formulasi Kode Etik DPR RI?
c. Bagaimana Pelaksanaan Kode Etik DPR RI?
d. Bagaimana Evaluasi Kode Etik DPR RI?
3. Gambaran Kasus
4. Analisa Kasus
BAB II
PEMBAHASAN
A. ETIKA
DAN KODE ETIK PEGAWAI PUBLIK
1. Etika
Pegawai Publik
Bartens
(2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya
dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat, atau akhlak dan watak. Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan purwadaminta, etika dirumuskan sebagai
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), disebut sebagai :
a.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral;
b.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak;
c.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Etika
pegawai publik adalah sikap dan perilaku para pegawai publik, baik itu sikap
baik maupun sikap buruk. Sebagai seorang pegawai publik sudah sepatutnya
bertindak atau bersikap dengan baik, pegawai publik merupakan contoh bagi para
masyarakat luas. Dalam memberikan pelayanan publik, tutur kata, sikap , dan
perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan objek penilaian.
Sehingga apapun yang dilakukan oleh pegawai publik, akan menjadi panutan
terhadap masyarakat luas.
Dalam
dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai
filsafat dan “Profesional Standards” (Kode Etik), atau moral atau “righ rules
of conduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh
pemberi pelayanan publik atau administrator publik (Denhardt, 1988).
2. Kode
Etik Pegawai Publik
Kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu
profesi khusus, hal yang perlu diingat ialah bahwa kode etik tidak membebankan
sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode
etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak
luar, setiap orang tetap mentaatinya.
Jadi ada dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan
dalam kode etik, bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusian, harga
diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis.
Kode etik merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok
sosial. Kode etik sendiri adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengan demikian pemakaian kode etik tidak
terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian
khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena
sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung
konsekuensi moral.
Kode etik dapat diartikan sebagai suatu alat untuk menunjang
pencapaian tujuan suatu organisasi atau suborganisasi (bagian dari suatu
organisasi) atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu
organisasi. Sesuatu alat tersebut tentunya bisa saja diadakan kalau ia sudah
dirasakan perlunya, pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik, hukum etik
itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi sebagai patokan tentang sikap mental
yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya.
Maka di samping berfungsi sebagai patokan-patokan sikap mental yang
ideal bagi segenap unsur organisasi , kode etik dapat mendorong keberhasilan
organisai itu sendiri. Organisasi akan berhasil jika para pegawai memiliki
inisiatif-inisiatif yang baik, teliti, jujur dan memiliki loyalitas yang tinggi
Kualitas-kualitas seperti inilah yang hendak dicapai melalui perumusan dan
pelaksanaan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menyediakan
seperangkat standar perilaku yang benar bagi anggota profesi yang mengeluarkan
kode ini.
3. Manfaat
Kode Etik
Munro dalam
Peter W.F.Davies (1997: 97-106) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat empat
manfaat kode etik profesi, yaitu:
a.
Kode
etik profesi dapat meningkatkan kredibilitas korporasi atau perusahaan. Adanya
kode etik profesi, secara internal mengikat semua pihak dengan norma-norma
moral yang sama sehingga akan mempermudah pimpinan untuk mengambil keputusan
dan kebijakan yang sama untuk kasus-kasus sejenis.
b.
Kode
etik profesi menyediakan kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri, bagi
sebuah korporasi dan bisnis-bisnis pada umumnya. Kegunaan kode etik untuk
meminimalisir ketimpangan-ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa sebelum
ada kode etik.
c.
Kode
etik menjadi alat atau sarana untuk menilai dan mengapresiasi tanggung jawab
sosial perusahaan (dalam hal ini adalah pemerintah).
d.
Kode
etik profesi merupakan alat yang ampuh untuk menghilangkan hal-hal yang belum
jelas menyangkut norma-norma moral.
Keempat kriteria
tersebut, apabila diterapkan secara konsisten dan konsekuen akan menjadi kode
etik profesi yang berlaku secara efektif, dalam arti berlaku karena kesadaran
dari anggota, bukan karena takut atas sanksi atau karena terpaksa.
B. KODE
ETIK DPR RI
Salah
satu perkembangan dari Tata Tertib terbaru DPR RI adalah adanya lampiran
keputusan DPR-RI No. 03B/DPR-RI/2001-2002 Tertanggal 16 Oktober 2001 tentang
Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia. Pertimbangan
dikeluarkannya Kode Etik tersebut antara lain dimaksudkan sebagai upaya untuk
terwujudnya DPR yang kuat, produktif, terpercaya, dan berwibawa. Karena
menyadari bahwa kedudukannya sebagai wakil rakyat sangat mulia dan terhormat,
anggota DPR-RI bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Negara,
masyarakat, dan konstituennya dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan.
Untuk
melaksanakan Konstitusionalnya, anggota DPR RI bersepakat untuk menyusun suatu
Kode Etik DPR RI yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh setiap
anggota DPR RI dalam menjalankan tugasnya selama di dalam ataupun di luar
gedung demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR. Kode etik
ini merupakan satu kesatuan landasan etik atau filosofis dengan perilaku maupun
ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang,atau tidak patut dilakukan
oleh anggota DPR RI.
1. Perencanaan
Kode Etik
Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan elemen penting dalam pemerintahan Indonesia, dalam
setiap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR pasti telah melalui
proses musyawarah sehingga mencapai kesepakatan yang mufakat, yang untuk
selanjutnya dapat menjadi peraturan maupun Undang-undang Negara Indonesia.
Sebagai Lembaga Legislatif pemerintahan, dalam setiap tindakan yang dilakukan
oleh anggota dewan sudah sepatutnya sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan ataupun konstitusi.
Untuk mencapai
hal itu, perlunya aturan khusus bagi anggota DPR yang dapat menjadi pembatasan
sikap dan perilaku agar tidak melanggar aturan. Kode etik anggota DPR sebelum
disahkan menjadi Peraturan DPR, telah melalui proses perencanaan yaitu proses
sidang dari seluruh anggota DPR. Proses perencanaan Kode Etik Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Republik Indonesia tahun 2015, yaitu:
Selasa, 27 Januari 2015
Rapat paripurna
menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan
Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI untuk
disempurnakan kembali dan ditunda pengesahannya.
Selasa, 17 Februari 2015
Rapat paripurna
menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan
Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI menjadi
peraturan DPR RI ditunda pengesahannya.
Rabu, 18 Februari 2015
Rapat paripurna
menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan
Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menjadi
Peraturan DPR RI.
Dari contoh
yang diambil dalam perencanaan kode etik DPR tahun 2015, bahwa ketika akan
menentukan kebijakan terkait kode etik untuk anggota DPR, tidak cukup sekali
dalam merumuskan peraturan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa perencanaan Kode
Etik DPR harus direncanakan atau disusun sedemikian rupa, untuk mencapai hasil
yang terbaik. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi
dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan
perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap
aparat publik.
2. Formulasi
Kode Etik
Dalam setiap
perencanaan dan pengambilan keputusan, diperlukan formulasi atau susunan yang
harus dipertimbangkan dari banyak pihak. Dalam hal ini (Kode Etik Dewan Perwakilan
Rakyat) juga melalui proses perencanaan dan masukan dari banyak pihak terutama
dari suara fraksi untuk dapat memutuskan substansi pasal. Sehingga sudah
sewajarnya dalam perencanaan, selalu diwarnai argumentasi dari banyak pihak sehingga dapat menghapuskan pasal maupun
merubah substansi pasal.
Seperti contoh
pasal yang dihapuskan sebelum disahkan menjadi Peraturan DPR, yakni pasal 12
ayat (2) tentang larangan anggota untuk terlibat iklan, film, dan sinetron.
Dalam pasal tersebut, Mahkamah Kehormatan Dewan DPR meminta usulan dari
fraksi-fraksi untuk dapat melayangkan pendapat tertulis. Anggota dewan dilarang
ikut dalam kegiatan kesenian lain yang bersifat komersial dengan alasan
ditakutkan wibawa anggota Dewan terganggu. Selain itu, dikhawatirkan anggota
dewan banyak bolos karena kegiatannya tersebut.
Menurut MKD,
pasal tersebut tidak memerlukan pencatuman, karena telah tercantum secara
Eksplisit dan Implisit dalam pasal 2 ayat (5) tentang pengutamaan tugas sebagai
Anggota, serta pasal 3 ayat (2) tentang pembatasan pribadi dalam bersikap,
bertindak, dan berperilaku. Pasal lain adalah:
a.
Pasal yang dihapus
1)
Pasal 8 ayat (5) tentang larangan bagi Anggota untuk merokok,
makan, dan mengaktifkan nada dering selama rapat.
2)
Pasal 10 ayat (4) tentang ketentuan mengenai perjalanan Dinas atas
biaya pengundang baik dari dalam maupun luar negeri, harus sepengetahuan
pimpinan DPR.
3)
Pasal 11 ayat (3) tentang larangan bagi Anggota yang menjabat
sebagai bendahara Fraksi, bendahara partai politik, dan/ atau bendahara Organisasi
merangkap sebagai Anggota Badan Anggaran.
b.
Perubahan substansi pasal atau ayat
1)
Pasal 8 ayat (5) tentang larangan membawa senjata api dan benda
berbahaya lainnya dalam rapat didalam atau diluar gedung DPR.
2)
Pasal 17 ayat (5) tentang larangan bagi tenaga ahli, staf
administrasi Anggota atau pegawai dilingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI
menghadiri rapat dan pertemuan yang menjadi tugas, fungsi, dan wewenang
Anggota.
c.
Penambahan pasal atau ayat
1)
Ayat (6) dalam pasal 8 tentang larangan anggota menyimpan, membawa,
dan menyalahgunakan narkoba.
2)
Ayat (4) dalam pasal 13 tentang larangan mengangkat wartawan
sebagai tenaga ahli dan staf administrasi Anggota.
3)
Penambahan satu pasal dalam bagian ke lima belas Etika Persidangan
yaitu pasal 17 tentang etika berbicara dan interupsi serta larangan berperilaku
yang dapat menghambat kelancaran rapat-rapat DPR.
3. Pelaksanaan
Kode Etik
Kode etik seharusnya bisa
ditaati semua pihak yang telah merencanakannya. Adanya kode etik bertujuan sebagai acuan dalam setiap tindakan para anggota.
Dalam pelaksanaannya, kode etik DPR RI belum bisa dikatakan telah dilaksanakan
sepenuhnya oleh para anggota dewan, dengan bukti masih ada juga anggota DPR
yang melanggar kode etik tersebut, seperti yang akan dijelaskan pada gambaran
kasus dalam makalah ini. Begitupun sebalikya, kode etik DPR juga belum bisa
dianggap tidak dilaksanakan oleh anggota DPR karena banyak anggota yang sudah
melaksanakan kode etik tersebut.
4. Evaluasi
Kode Etik
Memutuskan
jenis prosedur evaluasi membutuhkan pertimbangan yang matang, karena begitu
banyaknya alternatif yang ditawarkan.
Menurut pengamat Evaluasi, Harry P. Hatry menyatakan Ada beberapa
pendekatan yang dapat digunakan, yakni dengan Eksperimen yang terkendali dan
Penguasaan Eksperimen.
Dari pendekatan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika banyak lembaga yang
akan melakukan evaluasi terhadap hasil program, maka dibutuhkan eksperimen yang
telah dijalankan.
Dalam
lingkup Dewan Perwakilan Rakyat, adanya usaha untuk mereformasi diri melalui
perubahan tata tertib yang menambah pasal khusus mengenai Dewan Kehormatan yang
tertuang dalam Tata Tartib DPR pasal 57. Dewan Kehormatan bertugas melakukan
penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota DPR. Terhadap pelanggaran ini bisa dikenai sanksi yang tercantum dalam
Tata Tertib Pasal 60.
Terkait Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam Tata Tertib DPR Tahun 2014 diatur
dalam bagian kedelapan pasal 78.
Sanksi
yang diberikan atas pelanggaran Kode Etik anggota DPR adalah berupa teguran
lisan, teguran tertulis, sampai sanksi berat berupa pemberhentian sebagai
anggota DPR. Mahkamah Kehormatan Dewan akan bertindak untuk mengawasi
pelaksanaan Kode Etik dan menindak anggota DPR yang melanggar Kode Etik.
Dari
tahapan perencanaan, formulasi, pelaksanaan dan evaluasi, telah menerapkan
beberapa pendekatan, yakni:
a.
Pendekatan teleologis dan utilitarianisme, yaitu
pendekatan yang berorientasi kepada tujuan dan difokuskan kepada akibatnya.
Bahwa tujuan adanya kode etik DPR RI yakni membatasi dan mengatur segala etika
segenap anggota untuk dapat berbuat dan berperilaku sesuai dengan peraturan.
b.
Pendekatan deontologi, yakni salah satu cabang etika
yang menekankan kewajiban, tugas, tanggung jawab dan prinsip-prinsip yang harus
diikuti. Jelas bahwa DPR telah
melaksanakan kewajibannya membuat peraturan tentang kode etik yang dapat
mengatur tugas dan tanggung jawabnya sehingga jelas mana yang harus diikuti
atau dilakukan.
C. GAMBARAN
KASUS
Rapat Kerja (Raker) antara
Komisi VII DPR RI bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Migas, Blok Mahakam, serta harga minyak dunia, ditunda setelah terjadinya adu jotos anggota dewan Komisi VII saat raker
berlangsung, Rabu (8/5/2015). Berdasarkan
pantauan Okezone, pertengkaran wakil rakyat itu terjadi di lorong pantry luar
ruang rapat Komisi VII DPR. Aksi perkelahian tersebut, terindikasi lantaran
aksi sindir menyinidir ketika rapat berlangsung. Informasi yang dihimpun, peristiwa dipicu saat Mulyadi selaku Wakil Ketua
Komisi VII serta Pimpinan Sidang mengingatkan kepada Mustofa Assegaf yang
menyampaikan pertanyaan kepada pihak ESDM lebih dari 10 menit.
Setelah usaha Mulyadi mengingatkan kepada Mustofa
Assegaf yang telah melampaui batas Interupsi, justru Mustofa meminta tambahan
waktu berbicara selama 3 menit, tetapi hal itu tidak disetujui oleh Mulyadi.
Bahkan, Mulyadi mengancam akan
mengeluarkan Mustofa dari ruangan rapat lantaran sudah diinstruksikan untuk
berbicara hanya 10 menit saja. Setelah perdebatan itu, rapat sempat berlangsung seperti biasa hingga
akhirnya Assegaf meminta izin keluar ruangan, disusul dengan Mulyadi yang juga
meminta izin keluar ruangan.
Namun, mereka berdua tidak kembali ke ruangan dalam waktu cukup lama,
Hingga akhirnya diketahui ternyata mereka berdua justru berkelahi di lorong pantry.
Sampai akhirnya, Ketua Komisi VII Kardaya Warnika pun langsung beranjak dari
kursinya, menuju tempat perkelahian untuk memastikan keadaan. Ia pun langsung
melerai perkelahian serta menginstruksikan beberapa orang yang berkumpul di
lokasi tersebut untuk bubar, serta melanjutkan rapat.
Kasus adu jotos yang dilakukan kadua anggota DPR RI
Komisi VII kemudian diproses di Mahkamah Kehormatan Dewan, Kamis
(9/5/2015). Mengacu pada tata tertib maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), aksi pemukulan tidak dapat
dibenarkan bahkan dapat digolongkan sebagai perbuatan pidana.
Dalam kode etik dewan, terdapat tiga hal penting
yang tidak boleh dilanggar oleh anggota DPR, yakni tidak melanggar UU yang
berlaku, tidak melanggar kode etik dewan, dan berkomitmen kepada rakyat. Mengacu pada UU MD3 seorang
anggota dewan dapat memperoleh teguran hingga pemecatan apabila terbukti
melakukan pelanggaran etik berat. Namun dalam kasus ini, Tata Tertib Dewan,
menyatakan tindakan pemukulan bukan lagi sekedar melanggar etik dewan namun
dikatagorikan tindak pidana.
Selain Terkait Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang tetap akan memproses
pelanggaran Mustofa, Hasrul pun meminta Mustofa untuk siap bila dirinya
digantikan dengan kader Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) lainnya karena mendapatkan sanksi berupa Pergantian Antar Waktu (PAW).
Adanya kasus tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam peraturan
kode etik DPR RI, antara lain pasal 2 ayat (4), pasal 3 ayat (1), (2) dan (4).
D. ANALISA
KASUS
Sebelum kita menganalisas lebih
lanjut,dapat diketahui Menurut Chandler & plano dalam etika terdapat aliran
utama yaitu:
1. Empirical theory melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan
umum;
2. Rational theory melihat bahwa baik buruk tergantung dari alasan yang melatar belakangi
suatu perbuatan;
3. `Intutive theory berargumen bahwa manusia otomatis memiliki pemahaman baik dan buruk;
4. Revelation theory melihat benar dan salah berasal dari kekuasaan diatas manusia
Berdasarkan empat teori utama yang dikemukakan Chandler
dan Plano, kasus adu jotos anggota dewan yang melibatkan Wakil Ketua Komisi VII yang
berasal dari Partai Demokrat Mulyadi, dengan anggota Komisi VII fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) Mustofa Assegaf sesuai dengan rational teori,
karena kasus pelanggaran kode etik tersebut dilatarbelakangi oleh suatu alasan
perbuatan yaitu saling sindir mengenai batas waktu penyampaian pendapat oleh
kedua pihak.
Jika rational teori diterapkan
dalam analisa kasus, maka tindakan adu jotos tersebut dikarenakan suasana yang
memanas saat pelaksanaan sidang, dari kedua belah pihak sama-sama mengemukakan
argumen masing-masing dengan penuh keyakinan bahwa setiap dari mereka mempunyai
kesempatan yang sama dalam rapat, sehingga ketika mereka saling sindir dalam
rapat, justru mengakibatkan kepada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan
oleh anggota DPR RI.
Hasil yang didapatkan dari sikap
anggota dewan tersebut harus dilihat bagaimana latar belakang yang melahirkan
tindakan adu jotos. Dengan menggunakan rational teori, maka segala sesuatu
harus dilihat juga dari asal mula perbuatan tersebut. Sebelum mengambil
kesimpulan, diperlukan pegamatan sebelum timbul aksi adu jotos anggota dewan,
sehingga setelah mengambil bahwa baik atau tidaknya perbuatan, melanggar kode
etik atau tidak setelah tau asal usul tindakan tersebut.
Selain dengan rational teori,
dalam kasus tersebut juga bisa menggunakan Intutive teori, bahwa sesuai hukum
moral alamiah, dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut tidak baik, dengan
sendirinya masyarakat langsung dapat menilai tindakan itu. Dari kasus adu jotos
anggota dewan, bisa dikatakan intutive teori hanya memandang sesuatu dari hasil
akhir, bagaimana kesimpulan yang dapat diambil dari terjadinya perbuatan tanpa
melihat bagaimana asal mula perbuatan itu bisa terjadi.
Dalam analisis, kami tidak hanya terpacu
pada analisa diatas melainkan kami juga menganalisa kasus tersebut menurut
badan-badan yang terlibat didalamnya. Antara lain Mahkamah Kehormatan Dewan. Pertama kami menganalisa bahwa
pengawasan yang dilakukan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI belum begitu
optimal, pelanggaran dalam tubuh DPR RI sering terjadi, tidak hanya dalam kasus
adu jotos yang kami bahas pada makalah ini,
melainkan kasus lain pun sering bermunculan seperti etika para elite DPR yang
sering tidak masuk rapat, pemalsuan absen dan pernah terjadi kasus asusila
dalam tubuh DPR. Kurang tegasnya sanksi merupakan salah satu faktor penyebab
banyaknya pelanggaran yang dilakukan para elite politik.
Oleh Peraturan DPR No.1/2015
tentang Kode Etik, MKD dibuat sebagai lembaga penegak etika DPR baik melaui
sistem pencegahan maupun sistem penindakan. MKD dalam UU dimaksud pada pasal
122, 124, dan 245 terkait sistem penindakan, MKD berfungsi, bertugas, dan
berwenang: menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR baik
yang diadukan maupun yang tidak diadukan, memanggil pihak-pihak yang terkait
dan melakukan kerjasama baik dalam sistem pencegahan maupun penindakan, serta
memberi persetujuan atau tidak atas adanya pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh penegak
hukum. Ini dapat dilihat detailnya dalam Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang
Tata Beracara MKD.
Sebuah
peristiwa pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota DPR, baik murni
pelanggaran etika maupun murni pelanggaran hukum, seperti hukum pidana, dalam
mata pisau kewenangan MKD adalah sebagai pelanggaran etika. Lewat
Kode Etik DPR, MKD berwenang menegakan sistem etika yang melampaui sistem
hukum. Sistem penegakan etika di DPR berada diatas sistem penegakan hukum.
Sekalipun dalam dugaan tindakan
pelanggaran yang mengandung unsur pidana dilakukan oleh anggota DPR harus dilaporkan
ke kepolisin, proses penanganan oleh kepolisian akan kembali melibatkan MKD.
Kepolisian akan meminta persetujuan atas pemanggilan dan permintaan keterangan
kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses ini MKD
bisa memberi persetujuan atau tidak tergantung hasil proses penyeledikan yang
dilakukan MKD sendiri terhadap dugaan tindak pidana tersebut.
Jadi, kurang tepat jika dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR, seperti perusakan dan penganiayaan
yang terjadi di gedung DPR harus ditangani oleh kepolisian. DPR baik secara
kelembagaan maupun personal anggota DPR harus mendorong, memaksimalkan dan
mengoptimalkan MKD yang terdepan dalam menindak adanya dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota DPR.
Tentunya MKD sendiri harus
cekatan, peka, dan dimanis merespon adanya dugaan pelanggaran anggota DPR,
sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan perundangan-undangan. Dalam Tata
Beracara MKD sendiri, dalam sistem penindakan MKD tidak harus menunggu adanya
pengaduan dugaan pelanggaran. Tetapi juga berinisiatif tanpa pengaduan, MKD
dapat menindak dugaan pelanggaran karena peristiwa dugaan pelanggaran telah
menjadi perhatian publik, seperti terekspos di media massa.
UU
No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh para pembuatnya seolah-olah
bermaksud bahwa MKD ditempatkan sebagai “polisi etika DPR, jaksa penuntut etika
DPR, dan hakim etika DPR” sekaligus. Dalam peristiwa dugaan pelanggaran,
seperti membalikan meja, merokok di ruang rapat, mencongkel pintu ruang pimpinan
salah satu fraksi, dan terkini adu jotos 2 (dua) anggota DPR yang melanggar pasal-pasal
dalam peraturan kode etik DPR RI, antara lain pasal 2 ayat (4), pasal 3 ayat
(1), (2) dan (4).
MKD seharusnya segera menunjukan
eksistensinya sebagai bagian yang menangani kasus semacam itu. .Bila tidak,
membuka peluang berkurangnya kepercayaan publik terhadap DPR RI. Namun dalam
kasus adu jotos antara Mulyadi dan Mustofa Asegaf yang ditangani MKD kini belum
jelas sanksinya, beberapa sumber yang kami dapatkan belum secara jelas
mengungkapkan sanksi yang diberikan MKD untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
Berdasarkan salah satu referensi informasi bagi kami, yakni majalah harian yang
terbit pada 16 April 2015, bahwa MKD akan menjatuhkan sanksi kepada Mustofa
berupa pemecatan karena dalam kasus adu jotos ini Mustofa yang diduga memulai
tindakan itu. Kemudian, untuk Mulyadi tidak dikenai sanksi karena ia dalam
kasus adu jotos ini lebih diduga sebagai korban.
Dapat disimpulkan sejatinya
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat
ditegakkan jika etika para elite politik tersebut tidak bertentangan dengan
kode etik yang mereka buat dan tegaknya pengawasan dari Dewan Kehormatan
DPR-RI untuk mengawasi perilaku para
anggota dan juga bertugas untuk mengadili setiap pelanggaran yang terjadi.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Etika merupakan hal
penting dalam pelayanan publik, sehingga diperlukan adanya kode etik yang dapat
dijadikan acuan para pemberi pelayanan publik. Kode etik juga memerlukan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang maksimal. Sehingga bisa
dilaksanakan dengan baik oleh seluruh anggota yang terikat kode etik tersebut.
Adanya kasus adu jotos antara dua pejabat publik merupakan cerminan pelaksanaan
kode etik yang tidak sesuai dan sangat bertentangan dengan Peraturan kode etik
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
B.
KRITIK DAN SARAN
1. Kritik
Penulis menaruh kritik kepada
anggota DPR khususnya bagi mereka yang tidak melaksanakan peraturan yang justru
telah dibuat dan disepakati oleh DPR sendiri, kasus adu jotos sesama anggota
menjadi koreksi khusus bagi seluruh anggota DPR RI. Rendahnya
rasa tanggung jawab dalam mengemban tugasnya sebagai abdi negara, sering
mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak patut dilakukan oleh
wakil rakyat justru marak terjadi dan menjadi hal yang biasa.
Akibat adanya dua koalisi dan
kekuatan partai yang begitu besar, juga mengagungkan dari golongan mana wakil
rakyat itu datang, seringkali menjadi faktor anggota dewan berusaha sekuat
tenaga untuk dapat membesarkan asal kelahirannya dalam pemerintahan Indonesia. Musyawarah
yang seharusnya menjadi jembatan untuk mendapatkan kemufakatan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia, justru tidak
digunakan sebagai forum untuk mencapai kebijakan terbaik. Adanya adu jotos
dalam lingkaran musyawarah sangat mencoreng nama baik Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Saran
Bangsa Indonesia perlu melakukan tindakan yang
revolusioner khususnya dari segi moral dan etika, dimulai dari sikap anggota
dewan yang wajib tunduk kepada peraturannya sendiri, yakni kode etik. Kode etik
bisa terlaksana dengan baik jika para anggota DPR melakukan tugasnya dengan
benar, hal ini menjadi tugas bagi seluruh komponen negara, pencalonan anggota
dewan harus benar-benar diperhatikan agar mendapatkan pimpinan rakyat yang
benar-benar berkompeten.
Kepada seluruh masyarakat Indonesia,
supaya turut mengawasi segala keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
sehingga masyarakat juga mempunyai hak untuk memberi evaluasi ketika terjadi
pelanggaran maupun ketidaksesuaian atas apa yang menjadi peraturan pemerintah. Dalam
hal ini, pengawasan melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, meskipun sudah ada
lembaga yang bertugas sebagai pengawas pemerintah, namun hal itu juga harus di
imbangi dari seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, dari segi kuantitas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga patut untuk dikaji ulang, karena fungsi
Legislatif berbeda dengan Eksekutif, dalam arti bahwa meskipun anggota dewan
tidak sebanyak sekarang ini, tetapi mereka benar-benar terseleksi ketat dan
profesional dalam bidang Pemerintahan Negara. Sehingga diharapkan dalam
melaksanakan tugasnya, dapat memberikan kemampuan yang maksimal untuk kemajuan
negara Indonesia.