Monday 29 June 2015

PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT



MAKALAH
PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadist
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I










Oleh :
Ahmad Zamroni (1402026035)
Kelas SJ.A.2

Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
                                                  Tahun 2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan hidup bernegara. Al-qur’an dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik bagi kesejahteraan masyarakatnya. Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Didalam Al-qur’an Surat An-nisa ayat 58 dijelaskan bahwa Allah menyuruh manusia yang diberikan amanat untuk menyampaikannya kepada orang yang berhak menerimanya dan bersikap adil termasuk seorang pemimpin. Hal yang semacam itu akan memberikan manfaat bagi pemimpin yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Dari beberapa penjelasan dalam Al-qur’an, bagaimana pengertian dari pemimpin, dan bagaimana seharusnya sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin atas tugas-tugas yang sudah menjadi kewajibannya.
Sebagai seorang pemimpin, bukan berarti menjadi orang yang paling hebat, karena sesungguhnya pemimpin mempunyai tugas yang sangat berat yakni melayani masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya. Bagaimana tanggungjawab yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin dan bagaimana pula sikap bagi rakyat terhadap pemimpinnya, dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan terkait tanggungjawab bagi seorang pemimpin.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1.      Bagaimana pengertian pemimpin?
2.      Bagaimana tanggungjawab seorang pemimpin?
3.      Jelaskan bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN PEMIMPIN
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.[1] Menurut Kartini Kartono (1994: 33) Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Kemudian arti dari kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasikan dalam upaya menentukan tujuan dan mencapainya. Ada juga yang mengartikan Kepemimpinan merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.

B.     TANGGUNGJAWAB PEMIMPIN
Pemimpin adalah seseorang yang telah diberi tanggungjawab untuk dapat melaksanakan tugas yang telah diembannya dengan baik. Berikut hadist yang berkaitan dengan tanggungjawab pemimpin:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه (رواه مسلم)

Artinya:
Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. ( HR. Muslim)[2]

Penjelasan hadist tersebut yakni, bahwa setiap orang yang hidup didunia, merupakan seorang pemimpin. Oleh karena itu, setiap pemimpin juga harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak. Bukan hanya bagi seorang kepala negara saja, yang telah diberikan amanah untuk memimpin rakyatnya. Akan tetapi, bagi seorang suami, ibu rumah tangga, bahkan pembantu rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap orang minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan bisa juga menjadi pemimpin bagi orang lain.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, dalam Al-qur’an:[3]
اِنَّ الله يَأْ مُرُ بِا لْعَدْلِ وَ اْلِاحْسَانِ
            Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat baik”
(Q.S. An-Nahl: 90)

... وَاَقْسِطُوْأ اِنَّ الله يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
            Artinya: “ Berlaku adillah kamu. Sungguh Allah menyukai orang yang adil.”
(Q.S. Al-Hujarat: 9)

Dari kedua ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk berbuat adil, kepada siapapun dan dimanapun. Sebagai contoh bagi seorang raja juga harus bersikap adil dan bijaksana terhadap rakyatnya. Dan apabila raja tidak bisa berbuat adil dan berlaku semena-mena dan mengakibatkan rakyat sengsara, maka ia tidak patut dijadikan sebagai seorang pemimpin. Dengan kata lain bahwa seorang pemimpin harus bisa menciptakan keharmonisan antara dirinya dan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya. Sebagaimana hadist Nabi SAW yang berbunyi:

وَعَنْ عَوْ فِ بنِ مَا لِكٍ رَضِيَ االلّه عَنْةُ قَالَ : سَمِعْتَ رَسُوْ لَ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ يَقُوْلُ : خِيَارَ اَئِمَّتِكُمُ اّلَذِ يْ تُحِبُّوْ نَهُمْ وَ يُحِبُّوْنَكُمْ وَ تُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَ يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَ شَرَارُ اَئِمَّتِكُمُ اّلَذِ يْنَ تَبْغُوْنَهُمْ وَيَبْغُنَكُمْ وَتُلْعِنُوْنَكُمْ. قَالَ :قُلْنَا:يَارَسُوْلَ الله ,اَفَلَانُنَابِذُهُمْ؟ قَالَ: لَا, مَاأَقَامُوْافِيْكُمُ الصَّلاَةَ. (رواه مسلم)
Artinya: “Auf bin Malik r.a., berkata ‘saya telah mendengar rosulullah SAW bersabda, Sebaik-baiknya pemimpin ialah kamu cintai dan cinta padamu, dan kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Dan sejahat-jahatnya pemimpinmu ialah yang kamu benci dan mereka pun membenci kamu, dan kamu kutuk dan mereka mengutuk kamu.’ Sahabat Bertanya, “Bolehkah kami menentang (melawan mereka)?” Beliau menjawab, “Tidak selama mereka tetap menegakkan shalat.”[4]
(H.R. Muslim)

Kebahagiaan dan pahala yang besar menunggu para pemimpin yang adil, baik didunia dan terutama kelak diakhirat, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِ وبْنِ الْعَاصِ رَضِيَ االله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا .(رواه مسلم)

Artinya: “Abdullah Ibn Al-Amru Al-Ash berkata, Rasulullah SAW, bersabda,’sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, yaitu mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) mereka”
(H.R. Muslim)

C.    PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT
Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Sebagai seorang pemimpin harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin adalah pelayan masyarakat yang telah dipilih oleh rakyatnya. Orang yang memegang jabatan, berarti telah bersedia menjadi pelayan masyarakat.
Bila dalam tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan, atau didzalimi, maka hukuman bagi orang tersebut adalah penghuni neraka kelak. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntutan ajaran Islam, sebab jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT.[5] Hadis nabi SAW :
حَدِيْثُ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنِ زِيَادٍ عَادَ مَعْقَلَ بْنَ يَسَارٍ فِى مَرَضِهِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقَلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (أخرجه البخاري فى 93-كتاب الأحكام: باب من استرعى رعية فلم ينصح)
Hadist ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasannya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga)” (dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum,” bab: Orang yang diberi amanat Kepemimpinan)[6]
Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT, untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, bagi pemimpin yang sengaja meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama didunia, maka ia tidak mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah diakhirat.[7]
Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa, karena hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang semuanya hanya amanat dari Allah Yang Maha Esa, maka tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sebagimana firman Allah dalam Al-qur’an:
(٢١٥) وَاحْفِضْ جَنَا حَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْ مِنِيْنَ.

Artinya: “Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin”
(QS. Asy-Syu’ara: 215)
Oleh karena itu, agar kaum muslimin terhindar dari pemimpin yang dzalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih seorang pemimpin yang didasarkan pada rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan. Karena jika mereka menjadi pemimpin belum pasti bisa memimpin rakyatnya dengan baik, hal yang semacam itu yang akan mengakibatkan kerugian pada rakyat.
Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kedzaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggungjawab. Pemerintahan yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintahan, hadist Nabi SAW:
وَعَنْ عَا ئِدِبْنِ عَمْرٍو رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّهُ دَ خَلَ عَلَ عُبَيْدِ الله بْنِ زِيَادٍ قَالَ : يَا بُنَيَّ اِنّيِ سَمِعْتُ رَسُوْ لَ الله ص.م. يَقُوْ لُ : اِنَّ شَرَّ الرُّ عَاءِ الْحُطَمَةُ , فَاءِ يَّاكَ اَنْ لَا تَكُوْ نُ مِنْهُمْ. (متفق عليه)
            Artinya: “A’idz bin amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidillah bin Ziyad, ia berkata, hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda. ‘Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintahan yaitu yang paling kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka.” (H.R. Bukhori dan Muslim)[8]

Pemimpin adalah sebagai pelayan dan rakyat adalah sebagai tuan. Pengertian tersebut juga tidak boleh serta merta diterjemahkan secara tekstual saja, melainkan maksud yang terkandung. Bahwa agama islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena sekali lagi hakikat pemimpin adalah melayani kepentigan rakyat.
Apabila seorang pemimpin dapat melaksanakan tugasnya, maka sebagai rakyat juga harus taat dan patuh kepada pemimpin tersebut, rakyat wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkan itu tidak merupakan perbuatan maksiat.[9]




BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan. Dalam agama Islam, seorang pemimpin adalah orang yang dipercaya untuki mengemban tugas kepemimpinan, dan akan mempertanggung jawabkannya dihadapan tuhannya kelak.
Menjadi seorang pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang bebas melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, pemimpin mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi tugas sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, menjadi pelayan atas apa yang menjadi kebutuhan rakyat dalam pelayanan publik erupakan tugas yang harus dapat dipenuhi oleh pemimpin.

B.     SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari materi tentang pemimpin dan bagaimana tanggungjawab seorang pemimpin, maka sudah sepatutnya kita mengetahuinya. Agar tidak terjadi salah pengartian terhadap apa itu pemimpin, bagi para pemimpin, hendaknya melaksanakan tugas sesuai dengan yang ada dalam Al-hadist.








Thursday 25 June 2015

JUDICIAL REVIEW DAN REVISI UU NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG UU MD3



PAPER
JUDICIAL REVIEW DAN REVISI
UU NOMOR 17 TAHUN 2014
TENTANG UU MD3

Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Kelas SJ.A.2

Oleh:
1.      Yuwinda Tia Alfiana (14020260)
2.      Alwi Qudsi (14020260)
3.      Zulfa Farida (1402026034)
4.      Ahmad Zamroni (1402026035)


Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Tahun 2015
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik juga menerapkan prinsip Demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensil, bahwa Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk dapat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperlukan perwakilan dari masing-masing daerah untuk dapat turun berperan dalam kelembagaan pemerintahan Indonesia.
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Dalam proses pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebuut.














BAB II
PEMBAHASAN


A.    KELEMBAGAAN

1.      Sejarah DPD

PERIODE
BENTUK NEGARA
NAMA BADAN
JUMLAH
KETERANGAN
Pasca kemerdekaan (1945-1949)
Republik
Badan Pekerja Komite Nasionl
25 orang: 17 orang dipilih sidang, 8 orang dipilih dari daerah
Anggota dari daerah inilah merupakan cikal bakal terbentuknya usur daerah dalam lembaga Negara
RIS (1949)
Republik Indonesia Serikat (RIS)
Senat
Setiap daerah bagian diwakili 2 orang
·    Menggunakan konstitusi UUD RIS dimana susunan lembaga-lembaga negara berubah
·    Anggota senat ditunjuk oeh pemerintah daerah bagian
·    Salah satu syarat telah berusia 30 tahun ke atas
UUDS (1950)
Kesatuan
Dihapuskan
-
·    Konsekuensi digunakan UUDS-yang disahkan Presiden Soekarno tahun 1950- Struktur kelembagaan berubah
·    Lembaga legislatif hanya DPR
·    Senat dihapus karena tidak ada daerah-daerah bagian dalam Negara kesatuan
Pasca Dekrit Presiden (1959-1969)
Republik
Utusan Daerah
94 orang (PP No. 150/1959)
·    Struktur kelembagaan negara mengikuti UUD 1945 (Dekrit 5 Juli 1959)
·    Dibentuk MPRS (sebelum MPR) terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Golongan
·    Setiap 24 daerah diwakili 3-5 orang dimana pencalonan dilakukan oleh DPRD dan diputuskan oleh Presiden Soekarno
Orde baru (1969-1999)
Republik
Utusan Daerah
131 orang (27 provinsi)
·    Sesuai dengan UU No. 16/ 1969 mekanisme pemilihan anggota berubah
·    UD di MPR terdiri dari gubernur dan anggota lain yang dipilih oleh DPRD melalui pemilihan yang sangat ketat (Litsus)
·    Sebagian besar berasal dari Golkar karena mayoritas DPRD telah dikuasai mesin politik Orba ini.
·    Setiap provinsi ditetapkan 4-7 Orang
·    Di MPR perwakilan daerah ditambah di Fraksi UD (F-UD)
Reformasi (1999-2004)
Republik
Utusan Daerah
135 orang
·   Berakhirnya Orba menguatkan keberadaan utusan daerah (UU No. 4/ 1999 tentag Susduk MPR, DPR, DPRD)
·   Penentuan anggota lewat proses pemilihan DPRD (tanpa intervensi  penguasa lagi)
·   Setiap provinsi mengirim 5 anggota (seluruh anggota MPR 700 orang)
·   SU MPR 1999 menghapuskan F-UD dimasukkan kepada partai asalnya
·   ST MPR 2001 F-UD kembali diakui MPR
Amandemen UUD 1945 (Sejak 2004)
Republik
Menuju Dewan Perwakilan Daerah
Diwakii 4 orang (hasil pemekaran wilayah)
·   Amandemen UUD 1945 selesai tahun 2002 yang mengubah struktur lembaga negara.
·   Unsur perwakila daerah diwadahi dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama DPR merupakan bagian dari MPR
·   Proses pemilihan tidak lewat DPRD tapi melalui pemilu 2004 dan dipilih langsung oleh rakyat.
·   Namun fungsinya tidak sekuat DPR (terutama dalam legislasi)
·   Jumlah keseluruhan anggota tidak boleh lebih dari sepertiga anggota MPR
·   Calon anggota harus independen dan tidak berafiliasi pada parpol tertentu.
Sumber: Buku Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia Oleh Formappi

2.      Struktur DPD
Sesuai dengan kompromi politik diantara fraksi-fraksi di Panitia Ad Hoc I MPR pada proses amandemen UUD 1945 ketiga tahun 2001, yaitu kesepakatan untuk membentuk DPD yang anggota-anggota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, setiap propinsi diwakili oleh empat orang, jumlah keseluruhan anggota tidak lebih dari sepertiga anggota DPR[1]. Dan ini berlanjut hingga penetapan Amandemen UUD 1945 yang keempat.
Berdasarkanhaltersebut, jumlahkeseluruhan DPD adalahempat orangperwakilandikalitigapuluhempatjumlahpropinsi yang ada di Indonesia, berartijumlahkeseuruhanjumlah DPD yang ada di Indonesia berjumlah 136 danterakhirdipiliholehmasyarakat Indonesia melaluipemilupada 9 April 2014 yang merupakanlembaga DPD periodeketiga.
Pimpinan DPD adalahkelembagaan DPD danmerupakan satukesatuanpimpinan yang bersifatkolektif. Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota dalam sidangparipurna DPD. Pimpinan DPD periode 2014-2019 terdiriatas: IrmanGusman (ketua DPD), Farouk Muhammad (wakil ketua) danGustiKanjengRatuHemas (wakil ketua).
Berikutalat-alatkelembagaan DPD:
1)      Komite I
2)      Komite II
3)      Komie III
4)      Komite IV
5)      PanitiaPerancangUndang-Undang
6)      PanitiaUrusanRumahTangga
7)      BadanKehormatan
8)      BadanKerjasamaAntarParlemen
9)      BadanPengembanganKapasitasKelembagaan
10)  BadanAkuntabilitasPublik
11)  PanitiaMusyawarah[2]
Setiapanggota, kecualiPimpinan DPD, harusmenjadianggotasalahsatumasing-masingalatkelengkapanDPD. Penggantiananggotamasing-masingalatkelengkapan DPD dapatdilakukanberdasarkanpermusyawaratananggotadariPropinsi yang bersangkutandandiusulkankepadaPimpinan DPD.
Untukmendukungpelaksanaantugas DPD dibentukjuga Sekretaris JenderalDewanPerwakilan Daerah Republik Indonesia(disingkatSetjenDPD RI) yang personilnyaterdiriataspegawainegerisipil yang diangkatdandiberhentikanolehPresidenatasusulPimpinan DPD.Setjen DPD RI dibentukpertama kali berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2003 yang kemudiandigantidengan UU Nomor 27 Tahun 2009 danterakhir UU Nomor 17 Tahun 2014.

3.      Tujuan pembentukan DPD
a.       Sebagai wujud representasi teritorial atau daerah yang berbasis wilayah propinsi dengan maksud untuk menyempurnakan struktur lembaga perwakilan tingkat nasional yang sebelumnya hanya terdiri atas DPR yang lebih merupakan representasi politik berbasis penduduk.Mengingat sejarah politik Indonesia yang selalu diwarnai ketegangan dan konflik dalam hubungan Pusat-Daerah. Begitu pula realitas ketimpangan distribusi penduduk antara Jawa yang sangat padat dan luar Jawa penduduknya relatif tidak padat.
b.      Dalam rangka melembaganya sistem saling mengawasi (Check and Balance) secara internal parlemen di tingkat nasional. Pada akhirya kelak diharapkan melembaga pula sistem saling mengawasi antar berbagai cabang kekuasaan dalam bangunan sistem demorasi presidensial Indonesia yang stabil dan efektif.
c.       Ekspektasi yang begitu tinggi terhadap masa depan agenda desentralisasi dan otonomi yang lebih luas bagi daerah, juga menjadi dasar optimisme dari keberadaan DPD.

4.      Fungsi DPD
Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut:
a.       Fungsi Legislasi
1)      Dapat mengajukan rancangan undangan-undangan (RUU) kepada DPR
2)      Ikut membahas RUU
Bidang terkait: Otonom daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat da daerah.
b.      Fungsi Pertimbangan
1)      Memberikan pertimbangan kepada DPR
c.       Fungsi pengawasan
1)      Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
2)      Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK
Bidang Terkait : Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya alam serta sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah; Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); Pajak, pendidikan, dan agama.[3]
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 pasal 41:
a.       Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
b.      Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.[4] Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 Orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah seharusnya 136 orang. Masa jabatan aggota DPD adalah 5 Tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/ janji.

B.     GAMBARAN KASUS
Kasus: “Judicial Review dan Revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPRD,DPD)”
Selasa, 8 Juli 2014
MPR, DPR, DPD, dan DPRD rapat paripurna
 


Pengambilan keputusan pembicaraan tingkat II atas naskah RUU. Pengesahan UU nomor 17 tahun 2014 atas perubahan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MD3. (Sumber: http//www.bijaks.net/scandal/index/13094-kontroversi-undang-dash-undang-md3/)
Penetapan UU tersebut menuai banyak reaksi, dan memunculkan berbagai pihak yang menggunggat ke MK
1.      Koalisi untuk perjuangan keterwakilan perempuan a.n: Rieke Dyah Pitaloka dan Khofifah Indar Prawangsa. Menggunggat 7 pasal
2.      Perkumpulan masyarakat pembaharuan peradilan pidana. Menggugat pasal 245 yang terdiri dari tiga ayat
3.      Febi Yoneta dan J.J. Rizal. Menggugat pasal 245 yang terdiri dari tiga ayat
4.      PDIP a.n: Megawati Soekarno Putri mengajukan 7 pasal
5.      DPD menguji 21 pasal yakni:
a.    Pasal 71 huruf c
b.    Pasal 72
c.    Pasal 165
d.   Pasal 166
e.    Pasal 166 ayat 2
f.     Pasal 167 ayat 1
g.    Pasal 170 ayat 5
h.    Pasal 171 ayat 1
i.      Pasal 174 ayat 4
j.      Pasal 174 ayat 5
k.    Pasal 224 ayat 5
l.      Pasal 245 ayat 1
m.  Pasal 249 huruf b
n.    Pasal 250 ayat 1
o.    Pasal 252 ayat 4
p.    Pasal 258 ayat 1
q.    Pasal 276 ayat 1
r.     Pasal 277 ayat 1
s.     Pasal 281
t.     Pasal 305
u.    Pasal 307 ayat 2 (Sumber: Metronews.com)

Kamis, 14 agustus 2014
 
Sidang paripurna DPD menyetujui pengajuan permohonan pengujian formil dan materiil “UU Nomor 17 tahun 2014” yang dilakukan digedung nusantara V kompleks MPR/DPR/DPD. (Sumber: Republika.co.id)
Berdasarkan keterangan dari laman DPD, anggota DPD I Wayan Sudirta menjelaskan UU MD3 telah inkonstitusional secara formil dan materiil.
Inkonstitusional formil di antaranya, (1) UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi. Seharusnya UU MPR, UU DPR, dan UU DPD diadakan secara tersendiri.
(2) Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 – 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.(3) Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.Inkonstitusional materiil yaitu inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, hubungan antarlembaga perwakilan, dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.I Wayan Sudirta mencontohkan inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi di antaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD, disaring oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.

Pokok-pokok inkonstitusionalitas dalam hubungan antarlembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketidaksejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi di antaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR.Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. ”UU ini sangat ganjil dan diskriminatif," kata Wayan.Pokok-pokok Inkonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN di antaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan AkuntabilitasKeuangan Negara. (Sumber:
http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/28/283767/hari-ini-mk-mulai-adili-gugatan-uu-md3)


Jumat, 15 Agustus 2014
 
Pada pukul 13.00 wibtim legitasi DPD dengan ketua I Wayan Sudirta bersama kuasa hukum mendaftarkan permohonannya ke MK (Jalan Merdeka Barat nomor 6 Jakarta Pusat) dengan nomor perkara 79/PUU-XII/2014. (Sumber: republika.co.id)
Kamis, 28 Agustus 2014
 
Rabu, 10 September 2014
MK melakukan sidang perdana gugatan UU Nomor 17 tahun 2014 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan (1) (Sumber: metronews.com)

Sidang MK agenda perbaikan permohonan (2)
Selasa, 23 September 2014
 
Senin, 29 September 2014
Pukul 14.00wib sidang MK agenda mendengarkan keterangan presiden, DPR, dan pihak terkait (3)

Selasa, 25 November 2014
Putusan MK atas gugatan UU MD3 nomor 17 Tahun 2014 yang diajukan oleh lima pemohon, sidang digelar mulai pukul 16.00 (Sumber: Metronews.com)

Rapat legislasi melibatkan pemerintah, DPR, DPD
Rabu, 26 November 2014
 
Laporan badan legislasi DPR-RI dan pendapat fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan terhadap usul inisiatif anggota DPR-RI tentang penetapan RUU perubahan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Dalam prolegnas 2014 masa keanggotaan DPR-RI periode 2014-2019.
Selasa, 2 Desember 2014
 
DPR mengadakan rapat pengganti musyawarah untuk membahas revisi UU MD3

Jumat, 5 Desember 2014
 
DPR rapat paripurna pembentukan Pansus revisi UU MD3 pada pukul 13.00 wib (hanya berlangsung sekitar 5 menit). Pansus melakukan pembahasan tingkat I UU MD3 atas perubahan yang disepakati KIH dan KMP dengan Pemerintah, DPD (hanya membutuhkan waktu kurang 3 jam), dalam rapat tersebut DPD mengajukan 13 usulan. Akan tetapi pansus dari DPD memilih Walk Out karena tak terima posisi DPD dipertanyakan dalam rapat oleh sebagian anggota pansus DPR khususnya dari F-Demokrat dan PKS. Pembahasan rapat juga berjalan alot karena Pansus menganulir 13 usulan yang beberapa waktu lalu disampaikan DPD kepada Baleg DPR.
Berikut 13 poin usulan DPD:
1.      Usulan Perubahan Pasal 71, huruf c, menjadi: "DPR berwenang membahas rancangan UU yang diajukan oleh Presiden, DPR atau DPD... dan seterusnya"
2.      Usulan perubahan Pasal 72, huruf h, menjadi: "DPR bertugas (h.1) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD atas pelaksanaan UU. (h.2.) membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK."
3.      Usulan perubahan Pasal 164, ayat 5, menjadi: "Rancangan UU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada presiden dan kepada pimpinan DPD untuk RUU sebagaimana dimaksud pasal 71 huruf c."
4.      Usulan perubahan Pasal 165, ayat 2, menjadi: "....diajukan kepada DPR dan DPD". Penambahan pasal (2a): ".....disampaikan juga kepada DPD."
5.       Usulan perubahan Pasal 166, ayat 2, menjadi: "Rancangan UU beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada presiden". Dan ayat 5 menjadi: "DPR, DPD dan presiden.....dst".
6.      Usulan penghapusan Pasal 170, ayat 5.
7.       Usulan perubahan Pasal 171, pasal 1, huruf a, menjadi: "Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, dan hasil pembicaraan tingkat I". Penambahan (a.1.) "Penyampaian pendapat akhir DPD".
8.      Usulan perubahan Pasal 249, ayat 2, menjadi: "Dalam menjalankan wewenang dan tugas, anggota DPD .....dst".
9.      Usulan perubahan Pasal 250, ayat 1, menjadi: "Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana pasal 249, DPD memiliki kemandirian menyusun anggaran......dst".
10.  Usulan perubahan Pasal 259, ayat 1, menjadi: "Alat kelengkapan DPD terdiri atas: (a) pimpinan, (b) badan musyawarah, (c) komisi, (d) badan legislasi, (e) badan kerjasama antar parlemen, (f) badan kehormatan, (g) badan urusan rumah tangga, (h) panitia khusus, (i) alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna."
11.  Usulan perubahan Pasal 276, ayat 1, menjadi: "DPD dapat mengajukan rancangan UU berdasarkan program legislasi nasional dan rancangan UU di luar program legislasi nasional sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku".
12.  Usulan perubahan Pasal 281, menjadi: DPR memberikan pertimbangan terhadap rancangan UU kepada DPD".
13.  Usulan perubahan Pasal 284, ayat 1, menjadi: ".....huruf d beserta rekomendasi kepada DPR dan kepada pejabat atau pihak terkait untuk ditindaklanjuti."
Usulan di atas pada intinya untuk memperkuat kewenangan lembaga Negara yang konsen pada kebijakan daerah tersebut di daerah. (Sumber: Liputan6.com).
Hari itu juga, DPR juga mengesahkan revisi UU No. 17 tahun 2014 menjadi UU oleh ketua DPR Setyo Novanto atas persetujuan dari seluruh peserta rapat terhadap perubahan UUMD3 yang telah dibacakan oleh ketua Pansus  (proses pengesahan  RUU MD3 menjadi UUMD3 berlangsung lebih kurang 40 menit).(Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2014/12/06/08380521/Tujuh.Jam.Satu.Undang-undang).
Berikut pasa-pasal yang disahkan DPR hasil revisi. Yaitu Pasal 74 ayat 3, 4, 5 dan 6 dihapus. Pasal 97 ayat 2 diubah. Pasal 98 ayat 7, 8, dan 9 dihapus. Pasal 104 ayat 2 diubah. Pasal 115 ayat 2 diubah. Pasal 121 ayat 2 diubah. Pasal 152 ayat 2 diubah. Terakhir penambahan Pasal 425A. Pengesahan revisi UU MD3 ini menjadi titik akhir perseteruan antara KIH dengan KMP atas drama panjang seteru terkait bagi-bagi kursi untuk komisi dan alat kelengkapan dewan lain. (Sumber: http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=38857).

C.    ANALISA KASUS
1.      Tugas dan Kewenangan
Tugas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah:
a.       DPD dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonominya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Juga menyampaikan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah
b.      DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah bersama DPR dan Presiden yang berkaitan dengan hal yang dimaksud dalam huruf (a)
c.       DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
d.      Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
(UUD 1945 Pasal 22D dan UU No.22 Tahun 2003 Pasal 42, 43 dan 45)

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 adalah:
Pasal 46:
(1)   DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
(2)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
(3)   Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 47:
DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang Hak dan Kewajiban

Hak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah:
Pasal 48:
DPD mempunyai hak:
a.       Mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksudkan pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada DPR
b.      Ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana pasal 43 ayat (1)
Pasal 49:
Anggota DPD mempunyai hak:
a.       Menyampaikan usul dan pendapat;
b.      Memilih dan dipilih;
c.       Membela diri;
d.      Imunitas;
e.       Protokoler; dan
f.       Keuangan dan administratif.

Pasal 50:
Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a.       Mengamalkan Pancasila;
b.      Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c.       Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d.      Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negarakesatuan Republik Indonesia;
e.       Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.       Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakatdan daerah;
g.      Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dangolongan;
h.      Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dandaerah pemilihannya;
i.        Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD
j.        Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.[5]

2.      Opini.

1)      Pendapat Para Tokoh.

a.       Menurut Pakar Tata Hukum Negara, Margarito Kamis menilai permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan oleh DPD kepada Mahkamaha Konstitusi (MK) harus disertai dengan argumen yang kokoh. "Kalaulah DPD mempersoalkan rumusan kewenangan mereka, DPD memiliki legal standing mengajukan permohonan judicial review. Persoalannya adalah seberapa hebat konstruksi argumen untuk mematahkan pasal-pasal yang mengandung pemetasan kewenangan mereka," kata Margarito     
Menurut Margarito, argumen yang kokoh akan memperlihatkan adanya diskriminasi pembuatan UU MD3 dalam memperlakukan DPD. Perlunya argumen dari tokoh-tokoh Tata Negara dalam persidangan di MK harus dipersiapkan sejak awal. Pendapat Margito juga berkaitan dengan kewenangan DPD yang harus direvisi yakni bahwa DPD harus disertakan dalam perumusan setiap tahapan sampai pengambilan keputusan atar RUU MD3 sampai pengambilan keputusan, Seperti yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA), pajak daerah, pembentukan dan penggabungan daerah, dan sebagainya.
b.      Menurut Ni’matul Huda, pasca ditetapkannya keputusan MK tentang pengujian UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3, seharusnya semua upaya yang mereduksi peran dan wewenang DPD RI sesuai UUD 1945 merupakan tindakan inkonstitusional. Ni’ma juga mengatakan bahwa tidak diikutsertakannya DPD RI dalam penyusunan UU No. 17 tahun 2014 membuat UU tersebut cacat secara prosedur.
“Tindakan DPR yang mereduksi peran dan wewenang DPD sangat mengecewakan masyarakat. Dalam hal pengajuan RUU, RUU usul DPD juga tidak diperlakukan setara dengan RUU usul Pemerintah dan DPR. Karena dalam prosesnya RUU DPD menjadi RUU usul DPR dalam sistem prolegnas. Padahal peran DPD juga sangat penting dalam menjaga marwah NKRI, dimana DPD dapat mencegah pihak-pihak yang menghendaki NKRI menjadi negara federal,” papar Ni’matul yang juga pernah mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi.
c.       Anggota DPR dari Fraksi PPP, Achmad Dimyati Natakusuma, berpandangan DPD mesti dilibatkan dalam pembahasan RUU MD3. Menurutnya, dengan tidak melibatkan DPD, sama halnya DPR mengesampingkan putusan MK. Aturan lain yang mengamanatkan keterlibatan DPD terdapat dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan. “Meski tak ikut memutuskan sebuah RUU, dalam pembahasan mesti dilibatkan,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (26/11).
d.      Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan pembahasan RUU MD3 tak melibatkan DPD. Ia beralasan revisi terhadap UU No.17 Tahun 2014 itu terbatas pada kewenangan DPR. Ia berpandangan jika melibatkan DPD dikhawatirkan pembahasan bakal berlangsung panjang. Padahal target penyelesaian Revisi UU MD3 adalah 5 Desember 2014. Sedangkan Per 6 Desember DPR sudah memasuki masa reses.“Kalau melibatkan DPD, revisinya tidak akan selesai-selesai, karena akan merembet meluas ke masalah terkait isu-isu DPD dan pembahasannya akan berlarut-larut,” ujarnya. Sebagaimana diketahui, KIH dan KMP menyepakati penghapusan sejumlah ayat dalam Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3, yang menyangkut hak interpelasi di tingkat komisi. Soalnya, aturan penggunaan hak interpelasi dalam UU MD3 bersifat mengulang lantaran telah diatur dalam pasal lain. “Sehingga belum saatnya kalau kita harus membahas keterlibatan dengan DPD,” pungkasnya.


2)      Pendapat Kelompok.
Dalam setiap pembahasan yang meyangkut DPD, maka tidak ada alasan untuk tidak menyertakan anggota DPD dalam rapat meskipun dalam pengambilan keputusan dalam sidang paripurna, namun DPD juga harus diberi kesempatan dalam pembahasan. Sebelum DPR mengesahkan UU MD3 pada 8 Juli 2014, Undang-undang tersebut revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2009 yang dibatalkan MK.
Adanya Dewan Perwakilan Daerah adalah hasil amandemen UUD 1945, setelah adanya amandemen maka posisi DPD sejajar dengan DPR yakni sebagai lembaga Legislatif. Ketika dalam rapat revisi UUD MD3 Dewan Perwakilan Daerah tidak di ikutsertakan, maka wajar jika dari pihak DPD Merasa diabaikan, karena hakikatnya kedudukan DPD sama seperti DPR. Sesuai dengan Teori yang di paparkan oleh Montesquei bahwa Lembaga Legislatif berfungsi sebagai lembaga yang menjalankan peraturan dan perundang-undangan, termasuk lembaga yang bekerja untuk mengadili pelanggaran peraturan dan perundang-undangan.
Sebenarnya, permasalahan tentang Lembaga Perwakilan Daerah ini bukanlah masalah yang hadir baru-baru ini. Pada awal gagasan pembentukannya, DPD pun sudah menjadi pembiaraan yang cukup serius dikalangan para petinggi Negara. Misalnya dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ke-tiga terjadi perdebatan antar fraksi. Dimana fraksi PDIP dan fraksi TNI yang menolak lembaga perwakilan terpisah yang mewakili daerah karena diandang cenderung mengarah pada federalisme. Sebaliknya F-Golkar mengusulkan pembentukan suatu lembaga perwakilan daerah secara terpisah dengan otoritas yang sama seperti DPR. Sedang fraksi-fraksi yang lain cenderung memiliki sifat politik di tengah keduanya. Masalah lain kemudian yang muncul setelah pembentukan DPD adalah kewenangan DPD yang terasa seakan pincang, yakni sebagai bagian dari parlemen nasional yang kewenangan legislasinya lebih disubordinasikan kepada DPR ketimbang benar-benar menjadi “kamar kedua” parlemen nasioanal. Masalah-masalah tersebut bisa jadi muncul dikarenakan DPR yang merupakan politisi partai tidak mau kekuasaannya hilang atau berkurang mengingat MPR sekarang turut serta diisi oleh DPD yang notabennya bukan orang dari partai politik.
Kasus DPD diatas, bisa jadi merupakan salah satu permasalah yang timbul karena kurang jelasnya fungsi legislasi DPD dan masih lemahnya kedudukan DPD dalam parlemen nasional Indonesia. Pasalnya revisi UUMD3 nomor 17 tahun 2014 meskipun pada awalnya menyertakan DPD, akan tetapi karena alasan dipertanyakannya keberadaan DPD oleh beberapa fraksi dalam rapat Pansus yang dibentuk DPR dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut, membuat perwakilan DPD walk out. Jika demikian, maka dalam revisi undang-undang tersebut DPD tidak dilibatkan, mengingat setelah rapat tersebut kemudian DPR menggelar rapat paripurna dan langsung mengesahkannya. Tidak dilibatkannya DPD dalam revisi tersebut bisa berpotensi menimbulkan sengketa antar lembaga perwakilan, mengingat pada Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014 yang menerangkan bahwa pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPD, begitu juga revisinya harus melibatkan DPD. Seluruh UU yang mengurangi fungsi tugas DPD bisa dianggap inkonstitusional.
Kemudian jika alasan revisi tersebut tidak melibatkan DPD dikarenakan Undang-Undang tersebut tidak ada kaitannya sama sekali oleh DPD dan hanya membahas tentang kewenangan DPR, akan tetapi DPD yang memiliki kewenangan meskipun hanya memberi putusan dan pertimbangan tanpa bisa ikut dalam mengambil keputusan harusnya juga dihargai dan diakomodir. Untuk itu, mungkin tepat jika wacana UUMD3 diadakan secara tersendiri sebagaimana yang diusulkan DPD, agar tidak terjadi hal semacam ini. Selanjutnya, jika keikutsertaan DPD dalam revisi tersebut dirasaakan memperlambat proses revisi tersebut mengingat waktunya yang berhimpit dengan masa reses. Alasan ini, sebenarnya sudah ditanggapi oleh DPD, bahwa mereka siap kerja maraton membantu DPR menyelesaikan revisi tersebut karena sesuai dengan Undang-Undang dan putusan MK DPD harus ikut membahas didalamnya. Jadi, sebenarnya alasan keberadaan DPD sangat jelas dan kuat dalam proses revisi tersebut.
Kemudian jika DPD terlihat ngotot dan ingin sekali terlibat dalam proses revisi tersebut, sebenarnya hal tersebut sah dan wajar-wajar saja. Mengingat selama ini keberadaan mereka oleh pemerintah dan DPR sering diabikan, karena sebelumnya DPR juga mengabaikan peran aktif DPD dalam proses revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menjadi UU Nomor 17 tahun 2014. Mengingat bahwa keberadaan DPD sebagai perwakilan daerah memiliki peran penting yang mengakomodasi aspirai daerah, sebagai bentuk bagian dari desentralisasi daerah, dan sebagai penyeimbang dari ketimpangan daerah-daerah di Indonesia khususnya Jawa dan luar Jawa. Seperti diketahui pula, sejarah politik Indonesia yang diwarnai pergolakan pusat dan daerah yang tercermin dari kasus pemberontakan PRRI di Sumatera (1958) yang kemudian didukung oleh Permesta di Sulawesi pada tahun yang sama, dan kekuasaan yang terpusat pada masa Orba, yakni Rezim Soeharto, merupakan alasan-alasan yang kuat untuk mengakui dan mengakomodasi lembaga DPD sehigga lembaga ini dapat memiliki kewenangan setara dengan DPR yang tentunya sesuai dengan tujuan awalnya sebagai lembaga perwakilan berbasis daerah.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kasus diatas pada dasarnya adalah adalah salah satu uapaya DPD dalam memperjaunagkan lembaga perwakilan yang selama ini posisinya seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan DPR, keberadaan dari DPD seakan-akan hanya sebagai pelengkap dari DPR. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya kedudukan keduanya adalah sama.
Oleh karena itu, untuk kedepannya semoga kasus seperti ini tidak lagi terualang kembali dan saling menghormati antar lembaga tanpa ada egoisme masing-masing, mengingat pada dasarnya baik DPR atau pun DPD keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam kelembagaan Indonesia. Dimana DPR sebagai wujud representasi berbasis rakyat dan DPD sebagai lembaga perwakilan berbasis daerah.

B.     SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari materi terkait pembahasan DPD, kita dapat memahami materi yang telah dipaparkan. Sehingga dapat mengetahui bagaimana kedudukan DPD dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, khususnya pada Era jauh setelah Reformasi seperti saat ini.











DAFTAR PUSTAKA

FORMAPPI (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia). 2005. LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA: Studi Analisis Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945. Jakarta. AusAID.
Haris, Syamsuddin. 2014. PARTAI, PEMILU, DAN PARLEMEN Era Reformasi. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
UUD 1945.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.



[1] Syamsuddin Haris,  PARTAI, PEMILU DAN PARLEMEN Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm:216
[2] Dpd.go.id.
[3]http://www.dpd.go.id/subhalaman-fungsi-tugas--wewenang Diakses pada hari Jumat, tanggal 08 Mei 2015 pukul 13.46.
[4] Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi analisis sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, (Jakarta: AusAID, 2005), hlm. 161.
[5]Lihat Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.