Friday 6 November 2015

MAKALAH Pengertian Jarimah



MAKALAH
Pengertian Jarimah
Mata Kuliah : Fiqh Jinayah I
Dosen pengampu : Bapak Rustam D.K.A Harahap










Oleh :
Ahmad Zamroni          1402026035
Miftah Farid                 1402026057
Eko Yusuf Priyantoro 1402026062
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
                                                  Tahun 2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama, Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertindak egois, sehingga apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidakberaturan yang menyebabkan kehancuran.
Oleh karena itu manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban antar manusia satu dengan lainnya, demi mewujudkan itu semua maka dibutuhkannya Undang-undang maupun aturan yang lainnya. Adanya perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana sangat merugikan masyarakat. Sehingga sungguh selayaknya kita tidak melakukan hal tersebut.
Tidak hanya sekedar teori dan perencanaan, pengembangan akan pengetahuan dan wawasan yang berhubungan dengan tindak pidana seperti mengetahui contoh-contoh tindak pidana juga sangat penting untuk kita lakukan, yakni dengan belajar mater-materi terkait persoalan yang ada. Sehingga dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih suatu perbuatan, terlebih bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah tertera di atas maka rumusan masalah yang kita temukan adalah:
1.      Bagaimana pengertian tindak pidana?
2.      Bagaimana contoh-contoh tindak pidana?




MAKALAH Adu Jotos Anggota DPR RI, Bentuk Ketidaktaatan Terhadap Peraturan Kode Etik



MAKALAH
Adu Jotos Anggota DPR RI, Bentuk Ketidaktaatan Terhadap Peraturan Kode Etik
Mata Kuliah : Administrasi Pemerintahan
Dosen pengampu : Drs. H. Nur Syamsudin M.Ag







Kelompok 4:
1.      Wahyu supriyo        (122211075 )
2.      Evi Nur Fitria          (1402026011)
3.      Ahmad Dhani S      (1402026012)
4.      Akbar Azhari          (1402026023)
5.      Gus M. Dhiyaul      (1402026024)
6.      Siti Khalimatun       (1402026030)
7.      Ahmad Zamroni      (1402026035)
8.      M. Bahrul Ulum      (1402026043)

Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang
                                                        2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang menganut kedaulatan rakyat, keberadaan lembaga perwakilan hadir ditengah masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintah yang menjujung demokrasi. Lewat lembaga perwakilan tersebut, kepentingan rakyat dapat ditampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Adanya lembaga perwakilan rakyat, juga harus dibarengi dengan lembaga pengawas, untuk mengawasi kinerja anggota perwakilan rakyat, baik dari kebijakan, pelaksanaan tugas, sampai etika dari para elite politik sehingga diperlukan Badan Kehormatan (BK) di DPR yang merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk.
Dalam pelaksanaanya, terdapat sekelompok masyarakat yang kritis terhadap parlemen dan memberikan point merah terhadap kinerja dewan Badan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota DPR dinilai belum seluruhnya dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal sesuai dengan kode etik yang berlaku. Tidak hanya itu, inisiatif dan respons BK DPR terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota DPR juga dianggap masih sangat rendah. Dan sebagai contoh pelanggaran kode etik yang saat ini terjadi dalam lembaga legislatif yaitu insiden  adu jotos anggota dewan yang melibatkan Wakil Ketua Komisi VII yang berasal dari Partai Demokrat yaitu Mulyadi, dengan anggota Komisi VII fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mustofa Assegaf. Kejadian tersebut kini masih ditangani oleh Majlis Kehormatan Dewan (MKD).
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba menganalisa mengenai pelanggaran kode etik yang melibatkan anggota DPR RI yaitu Mulyadi dan Mustofa Assegaf. Sebagaimana perbuatan yang dilakukan kedua dewan tersebut sangat bertentangan dengan peraturan kode etik yang terdapat dalam tubuh DPR. Selain analisa kasus tersebut, dalam makalah ini juga kita paparkan bagaimana perencanaan, formulasi, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap pelaksanaan kode etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.


B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1.    Etika dan Kode Etik Pegawai Publik
a.    Bagaimana Pengertian Etika Pegawai Publik?
b.    Bagaimana Kode Etik Pegawai Publik?
c.    Bagaimana Manfaat Kode Etik ?
2.    Kode Etik DPR RI
a.    Bagaimana Perencanaan Kode Etik DPR RI?
b.    Bagaimana Formulasi Kode Etik DPR RI?
c.    Bagaimana Pelaksanaan Kode Etik DPR RI?
d.   Bagaimana Evaluasi Kode Etik DPR RI?
3.    Gambaran Kasus
4.    Analisa Kasus














BAB II
PEMBAHASAN


A.    ETIKA DAN KODE ETIK PEGAWAI PUBLIK
1.    Etika Pegawai Publik
Bartens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat, atau akhlak dan watak. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), disebut sebagai :
a.       Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
b.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c.       Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[1]
Etika pegawai publik adalah sikap dan perilaku para pegawai publik, baik itu sikap baik maupun sikap buruk. Sebagai seorang pegawai publik sudah sepatutnya bertindak atau bersikap dengan baik, pegawai publik merupakan contoh bagi para masyarakat luas. Dalam memberikan pelayanan publik, tutur kata, sikap , dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan objek penilaian.[2] Sehingga apapun yang dilakukan oleh pegawai publik, akan menjadi panutan terhadap masyarakat luas.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan “Profesional Standards” (Kode Etik), atau moral atau “righ rules of conduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (Denhardt, 1988).

2.    Kode Etik Pegawai Publik
Kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu profesi khusus, hal yang perlu diingat ialah bahwa kode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap mentaatinya.[3] Jadi ada dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dalam kode etik, bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusian, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis.
Kode etik merupakan hasil kesepakatan atau konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik sendiri adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan.[4]  Dengan demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap jenis pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.[5]
Kode etik dapat diartikan sebagai suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau suborganisasi (bagian dari suatu organisasi) atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Sesuatu alat tersebut tentunya bisa saja diadakan kalau ia sudah dirasakan perlunya, pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik, hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi sebagai patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya.
Maka di samping berfungsi sebagai patokan-patokan sikap mental yang ideal bagi segenap unsur organisasi , kode etik dapat mendorong keberhasilan organisai itu sendiri. Organisasi akan berhasil jika para pegawai memiliki inisiatif-inisiatif yang baik, teliti, jujur dan memiliki loyalitas yang tinggi Kualitas-kualitas seperti inilah yang hendak dicapai melalui perumusan dan pelaksanaan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menyediakan seperangkat standar perilaku yang benar bagi anggota profesi yang mengeluarkan kode ini.
3.    Manfaat Kode Etik
Munro  dalam Peter W.F.Davies (1997: 97-106) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat empat manfaat kode etik profesi, yaitu:
a.    Kode etik profesi dapat meningkatkan kredibilitas korporasi atau perusahaan. Adanya kode etik profesi, secara internal mengikat semua pihak dengan norma-norma moral yang sama sehingga akan mempermudah pimpinan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang sama untuk kasus-kasus sejenis.
b.    Kode etik profesi menyediakan kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri, bagi sebuah korporasi dan bisnis-bisnis pada umumnya. Kegunaan kode etik untuk meminimalisir ketimpangan-ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa sebelum ada kode etik.
c.    Kode etik menjadi alat atau sarana untuk menilai dan mengapresiasi tanggung jawab sosial perusahaan (dalam hal ini adalah pemerintah).
d.   Kode etik profesi merupakan alat yang ampuh untuk menghilangkan hal-hal yang belum jelas menyangkut norma-norma moral.
Keempat kriteria tersebut, apabila diterapkan secara konsisten dan konsekuen akan menjadi kode etik profesi yang berlaku secara efektif, dalam arti berlaku karena kesadaran dari anggota, bukan karena takut atas sanksi atau karena terpaksa.

B.     KODE ETIK DPR RI
Salah satu perkembangan dari Tata Tertib terbaru DPR RI adalah adanya lampiran keputusan DPR-RI No. 03B/DPR-RI/2001-2002 Tertanggal 16 Oktober 2001 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia. Pertimbangan dikeluarkannya Kode Etik tersebut antara lain dimaksudkan sebagai upaya untuk terwujudnya DPR yang kuat, produktif, terpercaya, dan berwibawa. Karena menyadari bahwa kedudukannya sebagai wakil rakyat sangat mulia dan terhormat, anggota DPR-RI bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Negara, masyarakat, dan konstituennya dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan.[6]
Untuk melaksanakan Konstitusionalnya, anggota DPR RI bersepakat untuk menyusun suatu Kode Etik DPR RI yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPR RI dalam menjalankan tugasnya selama di dalam ataupun di luar gedung demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR. Kode etik ini merupakan satu kesatuan landasan etik atau filosofis dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang,atau tidak patut dilakukan oleh anggota DPR RI.[7]
1.    Perencanaan Kode Etik
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan elemen penting dalam pemerintahan Indonesia, dalam setiap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR pasti telah melalui proses musyawarah sehingga mencapai kesepakatan yang mufakat, yang untuk selanjutnya dapat menjadi peraturan maupun Undang-undang Negara Indonesia. Sebagai Lembaga Legislatif pemerintahan, dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota dewan sudah sepatutnya sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan ataupun konstitusi.
Untuk mencapai hal itu, perlunya aturan khusus bagi anggota DPR yang dapat menjadi pembatasan sikap dan perilaku agar tidak melanggar aturan. Kode etik anggota DPR sebelum disahkan menjadi Peraturan DPR, telah melalui proses perencanaan yaitu proses sidang dari seluruh anggota DPR. Proses perencanaan Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia tahun 2015, yaitu:
Selasa, 27 Januari 2015
Rapat paripurna menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI untuk disempurnakan kembali dan ditunda pengesahannya.
Selasa, 17 Februari 2015
Rapat paripurna menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI menjadi peraturan DPR RI ditunda pengesahannya.
Rabu, 18 Februari 2015
Rapat paripurna menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik DPR RI dan Rancangan Peraturan DPR RI Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menjadi Peraturan DPR RI.
Dari contoh yang diambil dalam perencanaan kode etik DPR tahun 2015, bahwa ketika akan menentukan kebijakan terkait kode etik untuk anggota DPR, tidak cukup sekali dalam merumuskan peraturan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa perencanaan Kode Etik DPR harus direncanakan atau disusun sedemikian rupa, untuk mencapai hasil yang terbaik. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik.[8]
2.    Formulasi Kode Etik
Dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan, diperlukan formulasi atau susunan yang harus dipertimbangkan dari banyak pihak. Dalam hal ini (Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat) juga melalui proses perencanaan dan masukan dari banyak pihak terutama dari suara fraksi untuk dapat memutuskan substansi pasal. Sehingga sudah sewajarnya dalam perencanaan, selalu diwarnai argumentasi dari banyak pihak  sehingga dapat menghapuskan pasal maupun merubah substansi pasal.
Seperti contoh pasal yang dihapuskan sebelum disahkan menjadi Peraturan DPR, yakni pasal 12 ayat (2) tentang larangan anggota untuk terlibat iklan, film, dan sinetron. Dalam pasal tersebut, Mahkamah Kehormatan Dewan DPR meminta usulan dari fraksi-fraksi untuk dapat melayangkan pendapat tertulis. Anggota dewan dilarang ikut dalam kegiatan kesenian lain yang bersifat komersial dengan alasan ditakutkan wibawa anggota Dewan terganggu. Selain itu, dikhawatirkan anggota dewan banyak bolos karena kegiatannya tersebut.
Menurut MKD, pasal tersebut tidak memerlukan pencatuman, karena telah tercantum secara Eksplisit dan Implisit dalam pasal 2 ayat (5) tentang pengutamaan tugas sebagai Anggota, serta pasal 3 ayat (2) tentang pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku. Pasal lain adalah:
a.    Pasal yang dihapus
1)   Pasal 8 ayat (5) tentang larangan bagi Anggota untuk merokok, makan, dan mengaktifkan nada dering selama rapat.
2)   Pasal 10 ayat (4) tentang ketentuan mengenai perjalanan Dinas atas biaya pengundang baik dari dalam maupun luar negeri, harus sepengetahuan pimpinan DPR.
3)   Pasal 11 ayat (3) tentang larangan bagi Anggota yang menjabat sebagai bendahara Fraksi, bendahara partai politik, dan/ atau bendahara Organisasi merangkap sebagai Anggota Badan Anggaran.
b.    Perubahan substansi pasal atau ayat
1)   Pasal 8 ayat (5) tentang larangan membawa senjata api dan benda berbahaya lainnya dalam rapat didalam atau diluar gedung DPR.
2)   Pasal 17 ayat (5) tentang larangan bagi tenaga ahli, staf administrasi Anggota atau pegawai dilingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI menghadiri rapat dan pertemuan yang menjadi tugas, fungsi, dan wewenang Anggota.
c.    Penambahan pasal atau ayat
1)   Ayat (6) dalam pasal 8 tentang larangan anggota menyimpan, membawa, dan menyalahgunakan narkoba.
2)   Ayat (4) dalam pasal 13 tentang larangan mengangkat wartawan sebagai tenaga ahli dan staf administrasi Anggota.
3)   Penambahan satu pasal dalam bagian ke lima belas Etika Persidangan yaitu pasal 17 tentang etika berbicara dan interupsi serta larangan berperilaku yang dapat menghambat kelancaran rapat-rapat DPR.

3.    Pelaksanaan Kode Etik
Kode etik seharusnya bisa ditaati semua pihak yang telah merencanakannya. Adanya kode etik bertujuan sebagai acuan dalam setiap tindakan para anggota. Dalam pelaksanaannya, kode etik DPR RI belum bisa dikatakan telah dilaksanakan sepenuhnya oleh para anggota dewan, dengan bukti masih ada juga anggota DPR yang melanggar kode etik tersebut, seperti yang akan dijelaskan pada gambaran kasus dalam makalah ini. Begitupun sebalikya, kode etik DPR juga belum bisa dianggap tidak dilaksanakan oleh anggota DPR karena banyak anggota yang sudah melaksanakan kode etik tersebut.
4.    Evaluasi Kode Etik
Memutuskan jenis prosedur evaluasi membutuhkan pertimbangan yang matang, karena begitu banyaknya alternatif yang ditawarkan.  Menurut pengamat Evaluasi, Harry P. Hatry menyatakan Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yakni dengan Eksperimen yang terkendali dan Penguasaan Eksperimen.[9] Dari pendekatan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika banyak lembaga yang akan melakukan evaluasi terhadap hasil program, maka dibutuhkan eksperimen yang telah dijalankan.
Dalam lingkup Dewan Perwakilan Rakyat, adanya usaha untuk mereformasi diri melalui perubahan tata tertib yang menambah pasal khusus mengenai Dewan Kehormatan yang tertuang dalam Tata Tartib DPR pasal 57. Dewan Kehormatan bertugas melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR. Terhadap pelanggaran ini bisa dikenai sanksi yang tercantum dalam Tata Tertib Pasal 60.[10] Terkait Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam Tata Tertib DPR Tahun 2014 diatur dalam bagian kedelapan pasal 78.
Sanksi yang diberikan atas pelanggaran Kode Etik anggota DPR adalah berupa teguran lisan, teguran tertulis, sampai sanksi berat berupa pemberhentian sebagai anggota DPR. Mahkamah Kehormatan Dewan akan bertindak untuk mengawasi pelaksanaan Kode Etik dan menindak anggota DPR yang melanggar Kode Etik.
Dari tahapan perencanaan, formulasi, pelaksanaan dan evaluasi, telah menerapkan beberapa pendekatan, yakni:
a.       Pendekatan teleologis dan utilitarianisme, yaitu pendekatan yang berorientasi kepada tujuan dan difokuskan kepada akibatnya. Bahwa tujuan adanya kode etik DPR RI yakni membatasi dan mengatur segala etika segenap anggota untuk dapat berbuat dan berperilaku sesuai dengan peraturan.
b.      Pendekatan deontologi, yakni salah satu cabang etika yang menekankan kewajiban, tugas, tanggung jawab dan prinsip-prinsip yang harus diikuti.[11] Jelas bahwa DPR telah melaksanakan kewajibannya membuat peraturan tentang kode etik yang dapat mengatur tugas dan tanggung jawabnya sehingga jelas mana yang harus diikuti atau dilakukan.

C.    GAMBARAN KASUS
Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII DPR RI bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas, Blok Mahakam, serta harga minyak dunia, ditunda setelah terjadinya adu jotos anggota dewan Komisi VII saat raker berlangsung, Rabu (8/5/2015). Berdasarkan pantauan Okezone, pertengkaran wakil rakyat itu terjadi di lorong pantry luar ruang rapat Komisi VII DPR. Aksi perkelahian tersebut, terindikasi lantaran aksi sindir menyinidir ketika rapat berlangsung. Informasi yang dihimpun, peristiwa dipicu saat Mulyadi selaku Wakil Ketua Komisi VII serta Pimpinan Sidang mengingatkan kepada Mustofa Assegaf yang menyampaikan pertanyaan kepada pihak ESDM lebih dari 10 menit.
Setelah usaha Mulyadi mengingatkan kepada Mustofa Assegaf yang telah melampaui batas Interupsi, justru Mustofa meminta tambahan waktu berbicara selama 3 menit, tetapi hal itu tidak disetujui oleh Mulyadi. Bahkan, Mulyadi mengancam akan mengeluarkan Mustofa dari ruangan rapat lantaran sudah diinstruksikan untuk berbicara hanya 10 menit saja. Setelah perdebatan itu, rapat sempat berlangsung seperti biasa hingga akhirnya Assegaf meminta izin keluar ruangan, disusul dengan Mulyadi yang juga meminta izin keluar ruangan.
Namun, mereka berdua tidak kembali ke ruangan dalam waktu cukup lama, Hingga akhirnya diketahui ternyata mereka berdua justru berkelahi di lorong pantry. Sampai akhirnya, Ketua Komisi VII Kardaya Warnika pun langsung beranjak dari kursinya, menuju tempat perkelahian untuk memastikan keadaan. Ia pun langsung melerai perkelahian serta menginstruksikan beberapa orang yang berkumpul di lokasi tersebut untuk bubar, serta melanjutkan rapat[12].
Kasus adu jotos yang dilakukan kadua anggota DPR RI Komisi VII kemudian diproses di Mahkamah Kehormatan Dewan, Kamis (9/5/2015). Mengacu pada tata tertib maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), aksi pemukulan tidak dapat dibenarkan bahkan dapat digolongkan sebagai perbuatan pidana.
Dalam kode etik dewan, terdapat tiga hal penting yang tidak boleh dilanggar oleh anggota DPR, yakni tidak melanggar UU yang berlaku, tidak melanggar kode etik dewan, dan berkomitmen kepada rakyat. Mengacu pada UU MD3 seorang anggota dewan dapat memperoleh teguran hingga pemecatan apabila terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Namun dalam kasus ini, Tata Tertib Dewan, menyatakan tindakan pemukulan bukan lagi sekedar melanggar etik dewan namun dikatagorikan tindak pidana.[13]
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terus melanjutkan proses dugaan pelanggaran etik atas aksi pemukulan yang dilakukan Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mustofa Assegaf terhadap Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat, Mulyadi. Menurut Wakil Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad, saat ini MKD sudah meminta keterangan menyangkut kronologis peristiwa pemukulan tersebut, pada Kamis 16 April 2015. Kronologisnya diterima MKD dalam bentuk tertulis dari kedua belah pihak.
Selain Terkait Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang tetap akan memproses pelanggaran Mustofa, Hasrul pun meminta Mustofa untuk siap bila dirinya digantikan dengan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lainnya karena mendapatkan sanksi berupa Pergantian Antar Waktu (PAW).[14] Adanya kasus tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam peraturan kode etik DPR RI, antara lain pasal 2 ayat (4), pasal 3 ayat (1), (2) dan (4).

D.    ANALISA KASUS
Sebelum kita menganalisas lebih lanjut,dapat diketahui Menurut Chandler & plano dalam etika terdapat aliran utama yaitu:
1.    Empirical theory melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum;
2.    Rational theory melihat bahwa baik buruk tergantung dari alasan yang melatar belakangi suatu perbuatan;
3.    `Intutive theory berargumen bahwa manusia otomatis memiliki pemahaman baik dan buruk;
4.    Revelation theory melihat benar dan salah berasal dari kekuasaan diatas manusia

Berdasarkan  empat teori utama yang dikemukakan Chandler dan Plano, kasus adu jotos anggota dewan yang melibatkan Wakil Ketua Komisi VII yang berasal dari Partai Demokrat Mulyadi, dengan anggota Komisi VII fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mustofa Assegaf sesuai dengan rational teori, karena kasus pelanggaran kode etik tersebut dilatarbelakangi oleh suatu alasan perbuatan yaitu saling sindir mengenai batas waktu penyampaian pendapat oleh kedua pihak.
Jika rational teori diterapkan dalam analisa kasus, maka tindakan adu jotos tersebut dikarenakan suasana yang memanas saat pelaksanaan sidang, dari kedua belah pihak sama-sama mengemukakan argumen masing-masing dengan penuh keyakinan bahwa setiap dari mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam rapat, sehingga ketika mereka saling sindir dalam rapat, justru mengakibatkan kepada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh anggota DPR RI.
Hasil yang didapatkan dari sikap anggota dewan tersebut harus dilihat bagaimana latar belakang yang melahirkan tindakan adu jotos. Dengan menggunakan rational teori, maka segala sesuatu harus dilihat juga dari asal mula perbuatan tersebut. Sebelum mengambil kesimpulan, diperlukan pegamatan sebelum timbul aksi adu jotos anggota dewan, sehingga setelah mengambil bahwa baik atau tidaknya perbuatan, melanggar kode etik atau tidak setelah tau asal usul tindakan tersebut.
Selain dengan rational teori, dalam kasus tersebut juga bisa menggunakan Intutive teori, bahwa sesuai hukum moral alamiah, dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut tidak baik, dengan sendirinya masyarakat langsung dapat menilai tindakan itu. Dari kasus adu jotos anggota dewan, bisa dikatakan intutive teori hanya memandang sesuatu dari hasil akhir, bagaimana kesimpulan yang dapat diambil dari terjadinya perbuatan tanpa melihat bagaimana asal mula perbuatan itu bisa terjadi.
Dalam analisis, kami tidak hanya terpacu pada analisa diatas melainkan kami juga menganalisa kasus tersebut menurut badan-badan yang terlibat didalamnya. Antara lain Mahkamah Kehormatan Dewan. Pertama kami menganalisa bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI belum begitu optimal, pelanggaran dalam tubuh DPR RI sering terjadi, tidak hanya dalam kasus adu jotos yang kami bahas pada makalah ini, melainkan kasus lain pun sering bermunculan seperti etika para elite DPR yang sering tidak masuk rapat, pemalsuan absen dan pernah terjadi kasus asusila dalam tubuh DPR. Kurang tegasnya sanksi merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya pelanggaran yang dilakukan para elite politik.
Kedua kami menganalisa bahwa kasus adu jotos atau aksi pemukulan yang dilakukan Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mustofa Assegaf terhadap Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat sangat tepat jika harus diproses malalui MKD. Karena dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh UU No. 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam DPR.
Oleh Peraturan DPR No.1/2015 tentang Kode Etik, MKD dibuat sebagai lembaga penegak etika DPR baik melaui sistem pencegahan maupun sistem penindakan. MKD dalam UU dimaksud pada pasal 122, 124, dan 245 terkait sistem penindakan, MKD berfungsi, bertugas, dan berwenang: menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR baik yang diadukan maupun yang tidak diadukan, memanggil pihak-pihak yang terkait dan melakukan kerjasama baik dalam sistem pencegahan maupun penindakan, serta memberi persetujuan atau tidak atas adanya pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh penegak hukum. Ini dapat dilihat detailnya dalam Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD.
MKD  yang harus menindaklanjuti atas dugaan pelanggaran etik yakni aksi pemukulan yang dilakukan Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mustofa Assegaf terhadap Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat. Dalam Kode Etik DPR pasal 20 ayat (1) disebutkan “pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh Anggota merupakan pelanggaran etika”.
Sebuah peristiwa pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota DPR, baik murni pelanggaran etika maupun murni pelanggaran hukum, seperti hukum pidana, dalam mata pisau kewenangan MKD adalah sebagai pelanggaran etika. Lewat Kode Etik DPR, MKD berwenang menegakan sistem etika yang melampaui sistem hukum. Sistem penegakan etika di DPR berada diatas sistem penegakan hukum.
Sekalipun dalam dugaan tindakan pelanggaran yang mengandung unsur pidana dilakukan oleh anggota DPR harus dilaporkan ke kepolisin, proses penanganan oleh kepolisian akan kembali melibatkan MKD. Kepolisian akan meminta persetujuan atas pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses ini MKD bisa memberi persetujuan atau tidak tergantung hasil proses penyeledikan yang dilakukan MKD sendiri terhadap dugaan tindak pidana tersebut.
Jadi, kurang tepat jika dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR, seperti perusakan dan penganiayaan yang terjadi di gedung DPR harus ditangani oleh kepolisian. DPR baik secara kelembagaan maupun personal anggota DPR harus mendorong, memaksimalkan dan mengoptimalkan MKD yang terdepan dalam menindak adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR.
Tentunya MKD sendiri harus cekatan, peka, dan dimanis merespon adanya dugaan pelanggaran anggota DPR, sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan perundangan-undangan. Dalam Tata Beracara MKD sendiri, dalam sistem penindakan MKD tidak harus menunggu adanya pengaduan dugaan pelanggaran. Tetapi juga berinisiatif tanpa pengaduan, MKD dapat menindak dugaan pelanggaran karena peristiwa dugaan pelanggaran telah menjadi perhatian publik, seperti terekspos di media massa.
UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh para pembuatnya seolah-olah bermaksud bahwa MKD ditempatkan sebagai “polisi etika DPR, jaksa penuntut etika DPR, dan hakim etika DPR” sekaligus. Dalam peristiwa dugaan pelanggaran, seperti membalikan meja, merokok di ruang rapat, mencongkel pintu ruang pimpinan salah satu fraksi, dan terkini adu jotos 2 (dua) anggota DPR yang melanggar pasal-pasal dalam peraturan kode etik DPR RI, antara lain pasal 2 ayat (4), pasal 3 ayat (1), (2) dan (4).
MKD seharusnya segera menunjukan eksistensinya sebagai bagian yang menangani kasus semacam itu. .Bila tidak, membuka peluang berkurangnya kepercayaan publik terhadap DPR RI. Namun dalam kasus adu jotos antara Mulyadi dan Mustofa Asegaf yang ditangani MKD kini belum jelas sanksinya, beberapa sumber yang kami dapatkan belum secara jelas mengungkapkan sanksi yang diberikan MKD untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Berdasarkan salah satu referensi informasi bagi kami, yakni majalah harian yang terbit pada 16 April 2015, bahwa MKD akan menjatuhkan sanksi kepada Mustofa berupa pemecatan karena dalam kasus adu jotos ini Mustofa yang diduga memulai tindakan itu. Kemudian, untuk Mulyadi tidak dikenai sanksi karena ia dalam kasus adu jotos ini lebih diduga sebagai korban.
Dapat disimpulkan sejatinya kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat ditegakkan jika etika para elite politik tersebut tidak bertentangan dengan kode etik yang mereka buat dan tegaknya pengawasan dari Dewan Kehormatan DPR-RI  untuk mengawasi perilaku para anggota dan juga bertugas untuk mengadili setiap pelanggaran yang terjadi.











BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Etika merupakan hal penting dalam pelayanan publik, sehingga diperlukan adanya kode etik yang dapat dijadikan acuan para pemberi pelayanan publik. Kode etik juga memerlukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang maksimal. Sehingga bisa dilaksanakan dengan baik oleh seluruh anggota yang terikat kode etik tersebut. Adanya kasus adu jotos antara dua pejabat publik merupakan cerminan pelaksanaan kode etik yang tidak sesuai dan sangat bertentangan dengan Peraturan kode etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
B.     KRITIK DAN SARAN
1.    Kritik
Penulis menaruh kritik kepada anggota DPR khususnya bagi mereka yang tidak melaksanakan peraturan yang justru telah dibuat dan disepakati oleh DPR sendiri, kasus adu jotos sesama anggota menjadi koreksi khusus bagi seluruh anggota DPR RI. Rendahnya rasa tanggung jawab dalam mengemban tugasnya sebagai abdi negara, sering mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak patut dilakukan oleh wakil rakyat justru marak terjadi dan menjadi hal yang biasa.
Akibat adanya dua koalisi dan kekuatan partai yang begitu besar, juga mengagungkan dari golongan mana wakil rakyat itu datang, seringkali menjadi faktor anggota dewan berusaha sekuat tenaga untuk dapat membesarkan asal kelahirannya dalam pemerintahan Indonesia. Musyawarah yang seharusnya menjadi jembatan untuk mendapatkan kemufakatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia, justru tidak digunakan sebagai forum untuk mencapai kebijakan terbaik. Adanya adu jotos dalam lingkaran musyawarah sangat mencoreng nama baik Dewan Perwakilan Rakyat.


2.    Saran
Bangsa Indonesia perlu melakukan tindakan yang revolusioner khususnya dari segi moral dan etika, dimulai dari sikap anggota dewan yang wajib tunduk kepada peraturannya sendiri, yakni kode etik. Kode etik bisa terlaksana dengan baik jika para anggota DPR melakukan tugasnya dengan benar, hal ini menjadi tugas bagi seluruh komponen negara, pencalonan anggota dewan harus benar-benar diperhatikan agar mendapatkan pimpinan rakyat yang benar-benar berkompeten.
Kepada seluruh masyarakat Indonesia, supaya turut mengawasi segala keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat juga mempunyai hak untuk memberi evaluasi ketika terjadi pelanggaran maupun ketidaksesuaian atas apa yang menjadi peraturan pemerintah. Dalam hal ini, pengawasan melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, meskipun sudah ada lembaga yang bertugas sebagai pengawas pemerintah, namun hal itu juga harus di imbangi dari seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, dari segi kuantitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga patut untuk dikaji ulang, karena fungsi Legislatif berbeda dengan Eksekutif, dalam arti bahwa meskipun anggota dewan tidak sebanyak sekarang ini, tetapi mereka benar-benar terseleksi ketat dan profesional dalam bidang Pemerintahan Negara. Sehingga diharapkan dalam melaksanakan tugasnya, dapat memberikan kemampuan yang maksimal untuk kemajuan negara Indonesia.