MAKALAH
Ilmu Tarjih dan Metodenya
Oleh:
Ahmad Zamroni (1402026035)
Prodi Hukum Pidana dan Politik Islam
Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
Tahun 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam agama islam, hadist merupakan sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebelum nantinya digunakan sebagai landasan
hukum dalam keseharian umat beragama, maka terlebih dahulu melalui proses transmisi
(meneruskan) dan verifikasi (pemeriksaan tentang kebenaran) untuk menentukan
keaslian dan legalitas sehingga tidak bertolak belakang dengan sumber hukum
yang pertama selaku Kalamullah. Dalam setiap fase perkembangan hadist sendiri,
para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan
klasifikasi tertentu sebelum sampai kepada diterimanya hadist sebagai dasar dan
rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji
dalil-dalil syara’ dan metode istinbat hukumnya, maka wajib untuk mengrtahui
ilmu dan hukum yang berkaitan dengan objek yang akan dibahas. Dalam sebuah
kasus jika terdapat dua hadist yang membahas tentang masalah yang sama namun
ketentuan hukumnya berbeda maka harus ada pemecahan masalah dan bagaimana pula
untuk mengetahui hadist mana yang akan dijadikan sumber hukum.
Dalam makalah ini akan dijelaskan terkait
penyelesaian masalah yaitu dengan menggunakan ilmu tarjih, penulis juga
menjelaskan bagaimana pengertian ilmu tarjih dan apa saja metode yang dapat
digunakan untuk melakukan tarjih terhadap hadist-hadist sebagai sumber hukum
umat islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian ilmu tarjih?
2. Bagaimana metode dalam tarjih hadist?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEGERTIAN ILMU TARJIH
Secara lughat, tarjih berarti mengutamakan, taqwiyah, menguatkan.[1] sedangkan secara terminologi ada dua pendapat, yaitu:
1. Menurut ulama’ Hanafiah
إظهار زيادة لأحد المتمائلين على الأخر بما
لايستقل
“Membuktikan adanya tambahan bobot pada
salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu
tidak berdiri sendiri”
Dari definisi ini memberikan pemahaman bahwa dalil yang secara
lahiriyah bertentangan itu, haruslah berkualitas sama dan sederajat. Sehingga
dalil tambahan bisa dijadikan pendukung bagi dalil yang didukungnya.
2. Menurut jumhur ulama
تقوية إحدى الأمارتين (أى الدليلين الظنتين) على
الأخرى ليعمل بها
“Menguatkan salah satu indikator dalil
yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan)”
Berdasarkan dalil tersebut, artinya bahwa didalam pentarjihan
memakai dalil yang kualitasnya danniyyatud dalalah,[2] sebab tarjih tidak termasuk dalil yang qath’iyyah dalalah,
karena tidak akan terjadi pertentangan diantara dalil-dalil qhathiy. Dan
tidak termasuk pula diantara qath’iy dan dhanny.
Dengan demikian, para ulama sepakat bahwa dalil yang rajih
(dikuatkan) haruslah diamalkan. Sedangkan dalil-dalil yang biasa disebut majuh
(dilemahkan) ini tidak perlu diamalkan.
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis
yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan
faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih).
Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf
(ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis
yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih
atau dinasakh.
Imam syafii dalam menyeleksi hadist-hadist yang dianggap
kontradiksi antara keduanya, memberikan dua rumusan, yaitu:
1. Jika keadaan salah satu dari dua hadist menyerupai kitabullah (dari
segi makna), maka yang dijadikan hujjah[3] adalah hadist yang menyerupai kitabullah.
2. Jika dalam hadist tidak ada yang menyerupai (dari segi makna)
dengan teks kitabullah, maka ditetapkan salah satunya dengan cara:
b. Keadaan rawi hadis yang dipilih adalah yang sanad periwayatan dari
dua jalur atau lebih banyak dan kita tinggalkan yang satu jalur periwayatan,
c. yang dipilih adalah hadis yang menyerupai makna kitabullah atau
menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis
yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.
a. Keduanya dikompromikan (al-jam`u). jika bisa dikompromikan,
dan dengan cara ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan
tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya;
b. Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya,
yaitu mendahulukan yang nasikh;
c. Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan
cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.
B. METODE TARJIH
1.
Tarjih bain
an-Nushus
Yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadist) yang saling
bertentangan. Dalam teori ini terbagi menjadi beberapa bagian yang harus
diperhatikan:
a.
Dari segi sanad
Imam
asy-syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya:
1)
Menguatkan
salah satu nash dari segi sanadnya
2)
Pentarjihan
dengan melihat riwayat itu sendiri
3)
Pentarjihan
melalui cara menerima hadist dari rosul
1)
Mendahulukan
hadist yang khash (khusus) atas yang ‘aam (umum)
2)
Didahulukan
makna hakiki atas makna majazi, terkecuali kalau makna majazi yang haris
dipakaikan ditempat itu
3)
Didahulukan
makna yang merupakan hakikat syar’iah atau ‘urfiyah atas yang merupakan hakikat
lughawiyah
4)
Didahulukan
sesuatu yang tidak memerlukan kepada dlamir (kata ganti) dalam dia
menunjuki sesuatu yang tidak memerlukan kepada dlamir itu.
5)
Didahulukan
yang menunjuk kepada apa yang kita kehendaki dari dua segi, atas apa yang
ditujuki kepada yang kita kehendaki dari satu segi saja.
6)
Didahulukan
sesuatu yang padanya ada isyarat kepada ‘Illat[7] hukum atas yang
tidak demikian, karena petunjuknya kepada
‘Illat, lebih terang dari petunjuk yang tidak beri’Illat.
c.
Dari segi hukum
atau kandungan teks
1)
Teks yang
mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
2)
Menurut jumhur,
teks yang menetapkan lebih diutamakan dari teks yang meniadakan, karena teks
yang bersifat menetapkan memberi informasi tambahan
3)
Apabila isi
suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan
terpidana hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama
4)
Teks yang
mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang mengandung
hukuman berat
d.
Menggunakan
dalil diluar nash
Menurut
Al-Amidi ada 15 cara dengan metode ini, sedangkan Asy-Syaukani meringkasnya
menjadi 10, diantaranya:
1)
Mendahulukan
salah satu dalil yang didukung dalil lain, baik Al-Qur’an, Sunnah, maupun
Qiyas, dll.
2)
Mendahulukan
salah satu dalil yang didahulukan oleh amalan ahli madinah, karena mereka lebih
mengetahui persoalan turunnya ayat.
3)
Menguatkan dalil yang
menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang
mengandung asbabunnuzul atau asbabul wurud daripada dalil yang tidak
menyebutkannya.
4)
Mendahulukan dalil yang
didalamnnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
5)
Mendahulukan dalil yang
diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang
tidak demikian.
2.
Tarjih bain
al-Qiyas
Wahab zuhaili mengelompokkan
17 cara pentarjihan dalam persoalan qiyas yang dikemukakan dalam 4 kelompok,
yaitu:
a.
Dari segi hukum
ashal
1)
Menguatkan
qiyas yang hukum ashalnya qoth’y dari yang zhanni.
2)
Menguatkan qiyas yang
landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu
bisa ditakhsis, ditakwil (kenyataan) dan dinasakh, sedangkan ijma’ tidak.
3)
Menguatkan
qiyas yang didukung dalil yang khusus
4)
Menguatkan
qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari yang tidak
5)
Menguatkan
qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
6)
Menguatkan
qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.
b.
Dari segi hukum
cabang
1)
Menguatkan
hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asal
2)
Menguatkan
hukum cabang yang illatnya diketahui secara qoth’y dari yang hanya diketahui
secara zhanni.
3)
Menguatkan
hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang
yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
c.
Dari segi
‘Illat
Dari kelompok
ini terbagi menjadi dua cara, yakni:
1)
Dari segi
penetapan
a)
Menguatkan
illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak
demikian.
b)
Menguatkan illat yang
dilkakukan dengan cara as-sibru wa at taqsim yang dilakukan para mujtahid.
c)
Menguatkan illat yang
didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah
(keserasian), karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
2)
Dari sifat
Illat
a)
Menguatkan illat yang bisa
diukur daripada yang relatif
b)
Menguatkan illat yang
sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu
hukum saja
c)
Menguatkan illat yang yang
berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjya (penunjang)
d)
Menguatkan illat yang jelas
melatarbelakangi suatu hukum, daripada ilat yang bersifat indikator saja
terhadap latar belakang hukum.
d.
Melalui faktor
lain
1)
Menguatkan
qiyas yang didukung lebih dari satu illat
2)
Menguatkan pendapat sahabat
sebagai salah satu dalil bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat dalil
3)
Menguatkan illat yang bisa
berlaku untuk seluruh furu’
4)
Menguatkan qiyas yang
didukung lebih dari satu dalil
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Metode tarjih adalah salah satu metode untuk mencari salah satu hadits
yang sah untuk dipergunakkan dengan cara mengunggulkan
salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya. Dalam metode ini harus disertai dengan
pengetahuan dan alasan-alasan yang jelas. Dan jika
metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf
(ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis
yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih
atau dinasakh.
Konsep ini muncul ketika terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang
sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq.
Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa
dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan
tidak mungkin dilakukan nasakh.
B.
SARAN
Demikianlah makalah ini disusun sebagai
tambahan pengetahuan tentang metode pemilihan hadits yang bertentangan dengan
cara tarjih. Saran penulis untuk para pembaca agar dapat meningkatkan
pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu hadist terutama pada masalah yang sudah
dijelaskan dalam makalah ini. Semoga bermanfaat dan apabila terdapat kesalahan
didalam makalah ini, kritik juga kami jadikan sebagai bahan pembenahan kita
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist.
Jakarta: Bulan Bintang.
http://baba-cute.blogspot.com/2011/11/tarjih.html. Diakses pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014, Pukul 09.26 pm.
http://sumberpiji.wordpress.com/2011/08/03/tarjih-dan-talfiq.html. Diakses pada hari sabtu tanggal 22 November 2014 Pukul 09.14 pm.
http://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam-tarjih-muhammadiyah.asp.
Diakses pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014 Pukul 08.56 pm.
http://tonnyfaradizza.blogspot.com/2012/12/metode-tarjih-dalam
hadits.html. Diakses pada
hari Sabtu tanggal 22 November 2014 pukul 09.08 pm.
[1]
Hasby
Ash-Shiddieqy, pokok-pokok ilmu dirayah
hadist, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994), hlm.277.
[2]
Dalalah diartikan sebagai petunjuk yang benar
mengenai makna, danniyatud dalalah berarti petunjuk kepada hadist yang bersifat
dhanny.
[3]
Hujjah berarti tanda, bukti, dalil, alasan, argumen.
[4]
Imla’ berarti sesuatu yang dikatakan atau dibaca keras-keras supaya
ditulis oleh orang lain.
[5] Muktalaf adalah pertentangan antara dua
hadist.
[7]
Suatu sifat yang ada
pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk mengetahui hukum, terutama pada
masalah yang belum ditentukan hukumnya.
[8]
Muqayyad berarti yang dikatakan kepada sesuatu.
[9]
Lafad yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang
mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafad.
No comments:
Post a Comment