Tuesday 2 June 2015

Ilmu Tarjih dan Metodenya



MAKALAH
Ilmu Tarjih dan Metodenya

Oleh:
Ahmad Zamroni (1402026035)

Prodi Hukum Pidana dan Politik Islam
Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
Tahun 2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam agama islam, hadist merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebelum nantinya digunakan sebagai landasan hukum dalam keseharian umat beragama, maka terlebih dahulu melalui proses transmisi (meneruskan) dan verifikasi (pemeriksaan tentang kebenaran) untuk menentukan keaslian dan legalitas sehingga tidak bertolak belakang dengan sumber hukum yang pertama selaku Kalamullah. Dalam setiap fase perkembangan hadist sendiri, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan klasifikasi tertentu sebelum sampai kepada diterimanya hadist sebagai dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbat hukumnya, maka wajib untuk mengrtahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan objek yang akan dibahas. Dalam sebuah kasus jika terdapat dua hadist yang membahas tentang masalah yang sama namun ketentuan hukumnya berbeda maka harus ada pemecahan masalah dan bagaimana pula untuk mengetahui hadist mana yang akan dijadikan sumber hukum.
Dalam makalah ini akan dijelaskan terkait penyelesaian masalah yaitu dengan menggunakan ilmu tarjih, penulis juga menjelaskan bagaimana pengertian ilmu tarjih dan apa saja metode yang dapat digunakan untuk melakukan tarjih terhadap hadist-hadist sebagai sumber hukum umat islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian ilmu tarjih?
2.      Bagaimana metode dalam tarjih hadist?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    PEGERTIAN ILMU TARJIH
Secara lughat, tarjih berarti mengutamakan, taqwiyah, menguatkan.[1] sedangkan secara terminologi ada dua pendapat, yaitu:
1.    Menurut ulama’ Hanafiah
إظهار زيادة لأحد المتمائلين على الأخر بما لايستقل
Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri

Dari definisi ini memberikan pemahaman bahwa dalil yang secara lahiriyah bertentangan itu, haruslah berkualitas sama dan sederajat. Sehingga dalil tambahan bisa dijadikan pendukung bagi dalil yang didukungnya.
2.    Menurut jumhur ulama
تقوية إحدى الأمارتين (أى الدليلين الظنتين) على الأخرى ليعمل بها
Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan)

Berdasarkan dalil tersebut, artinya bahwa didalam pentarjihan memakai dalil yang kualitasnya danniyyatud dalalah,[2] sebab tarjih tidak termasuk dalil yang qath’iyyah dalalah, karena tidak akan terjadi pertentangan diantara dalil-dalil qhathiy. Dan tidak termasuk pula diantara qath’iy dan dhanny.
Dengan demikian, para ulama sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) haruslah diamalkan. Sedangkan dalil-dalil yang biasa disebut majuh (dilemahkan) ini tidak perlu diamalkan.
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Imam syafii dalam menyeleksi hadist-hadist yang dianggap kontradiksi antara keduanya, memberikan dua rumusan, yaitu:
1.    Jika keadaan salah satu dari dua hadist menyerupai kitabullah (dari segi makna), maka yang dijadikan hujjah[3] adalah hadist yang menyerupai kitabullah.
2.    Jika dalam hadist tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah, maka ditetapkan salah satunya dengan cara:
a.    Keadaan rawi lebih dikenal dari segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla’.[4]
b.    Keadaan rawi hadis yang dipilih adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kita tinggalkan yang satu jalur periwayatan,
c.    yang dipilih adalah hadis yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.
Sementara As-Suyuthi membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf [5] yaitu:
a.    Keduanya dikompromikan (al-jam`u). jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya;
b.    Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan yang nasikh;
c.    Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.

B.     METODE TARJIH
1.    Tarjih bain an-Nushus
Yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadist) yang saling bertentangan. Dalam teori ini terbagi menjadi beberapa bagian yang harus diperhatikan:
a.    Dari segi sanad
Imam asy-syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya:
1)   Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
2)   Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
3)   Pentarjihan melalui cara menerima hadist dari rosul
b.    Dari segi matan[6]
1)   Mendahulukan hadist yang khash (khusus) atas yang ‘aam (umum)
2)   Didahulukan makna hakiki atas makna majazi, terkecuali kalau makna majazi yang haris dipakaikan ditempat itu
3)   Didahulukan makna yang merupakan hakikat syar’iah atau ‘urfiyah atas yang merupakan hakikat lughawiyah
4)   Didahulukan sesuatu yang tidak memerlukan kepada dlamir (kata ganti) dalam dia menunjuki sesuatu yang tidak memerlukan kepada dlamir itu.
5)   Didahulukan yang menunjuk kepada apa yang kita kehendaki dari dua segi, atas apa yang ditujuki kepada yang kita kehendaki dari satu segi saja.
6)   Didahulukan sesuatu yang padanya ada isyarat kepada ‘Illat[7] hukum atas yang tidak demikian, karena petunjuknya kepada  ‘Illat, lebih terang dari petunjuk yang tidak beri’Illat.
7)   Didahulukan yang muqayyad[8] atas yang muthlaq.[9].
c.    Dari segi hukum atau kandungan teks
1)   Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
2)   Menurut jumhur, teks yang menetapkan lebih diutamakan dari teks yang meniadakan, karena teks yang bersifat menetapkan memberi informasi tambahan
3)   Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama
4)   Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang mengandung hukuman berat
d.   Menggunakan dalil diluar nash
Menurut Al-Amidi ada 15 cara dengan metode ini, sedangkan Asy-Syaukani meringkasnya menjadi 10, diantaranya:
1)   Mendahulukan salah satu dalil yang didukung dalil lain, baik Al-Qur’an, Sunnah, maupun Qiyas, dll.
2)   Mendahulukan salah satu dalil yang didahulukan oleh amalan ahli madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya ayat.
3)   Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbabunnuzul atau asbabul wurud daripada dalil yang tidak menyebutkannya.
4)   Mendahulukan dalil yang didalamnnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
5)   Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
2.    Tarjih bain al-Qiyas
Wahab zuhaili mengelompokkan 17 cara pentarjihan dalam persoalan qiyas yang dikemukakan dalam 4 kelompok, yaitu:
a.    Dari segi hukum ashal
1)   Menguatkan qiyas yang hukum ashalnya qoth’y dari yang zhanni.
2)   Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil (kenyataan) dan dinasakh, sedangkan ijma’ tidak.
3)   Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus
4)   Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari yang tidak
5)   Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
6)   Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.
b.    Dari segi hukum cabang
1)   Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asal
2)   Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qoth’y dari yang hanya diketahui secara zhanni.
3)   Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
c.    Dari segi ‘Illat
Dari kelompok ini terbagi menjadi dua cara, yakni:
1)   Dari segi penetapan
a)   Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
b)   Menguatkan illat yang dilkakukan dengan cara as-sibru wa at taqsim yang dilakukan para mujtahid.
c)   Menguatkan illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian), karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
2)   Dari sifat Illat
a)   Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relatif
b)   Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja
c)   Menguatkan illat yang yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjya (penunjang)
d)  Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada ilat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
d.   Melalui faktor lain
1)   Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat
2)   Menguatkan pendapat sahabat sebagai salah satu dalil bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat dalil
3)    Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’
4)   Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil








BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN
Metode tarjih adalah salah satu metode untuk mencari salah satu hadits yang sah untuk dipergunakkan dengan cara mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya.  Dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan dan alasan-alasan yang jelas. Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.

B.       SARAN
Demikianlah makalah ini disusun sebagai tambahan pengetahuan tentang metode pemilihan hadits yang bertentangan dengan cara tarjih. Saran penulis untuk para pembaca agar dapat meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu hadist terutama pada masalah yang sudah dijelaskan dalam makalah ini. Semoga bermanfaat dan apabila terdapat kesalahan didalam makalah ini, kritik juga kami jadikan sebagai bahan pembenahan kita bersama.







DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist. Jakarta: Bulan Bintang.
http://baba-cute.blogspot.com/2011/11/tarjih.html. Diakses pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014, Pukul 09.26 pm.
http://sumberpiji.wordpress.com/2011/08/03/tarjih-dan-talfiq.html. Diakses pada hari sabtu tanggal 22 November 2014 Pukul 09.14 pm.
http://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam-tarjih-muhammadiyah.asp. Diakses pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014 Pukul 08.56 pm.
http://tonnyfaradizza.blogspot.com/2012/12/metode-tarjih-dalam hadits.html. Diakses pada hari Sabtu tanggal 22 November 2014 pukul 09.08 pm.






[1] Hasby Ash-Shiddieqy,  pokok-pokok ilmu dirayah hadist, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994), hlm.277.
[2]  Dalalah diartikan sebagai petunjuk yang benar mengenai makna, danniyatud dalalah berarti petunjuk kepada hadist yang bersifat dhanny.
[3] Hujjah berarti tanda, bukti, dalil, alasan, argumen.
[4] Imla’ berarti sesuatu yang dikatakan atau dibaca keras-keras supaya ditulis oleh orang lain.
[5]  Muktalaf adalah pertentangan antara dua hadist.
[6] Ibid, hlm.279.
[7] Suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk mengetahui hukum, terutama pada masalah yang belum ditentukan hukumnya.
[8] Muqayyad berarti yang dikatakan kepada sesuatu.
[9] Lafad yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafad.

No comments:

Post a Comment