PAPER
JUDICIAL REVIEW DAN REVISI
UU NOMOR 17 TAHUN 2014
TENTANG UU MD3
Mata Kuliah : Hukum Tata
Negara
Kelas SJ.A.2
Oleh:
1. Yuwinda Tia Alfiana (14020260)
2. Alwi Qudsi (14020260)
3. Zulfa Farida (1402026034)
4. Ahmad Zamroni (1402026035)
Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Syariah
Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang
Tahun 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik juga
menerapkan prinsip Demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensil, bahwa
Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk
dapat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan
budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diperlukan perwakilan dari masing-masing
daerah untuk dapat turun berperan dalam kelembagaan pemerintahan Indonesia.
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di
parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD
1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI
membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini
dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Sejak
perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah.
Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang
cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc
I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan
pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan
pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang
berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham
demokrasi.
Dalam
proses pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya
lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga
keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan
serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal
terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut
berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang
bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan
dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan
wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam
keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab
tantangan-tantangan tersebuut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KELEMBAGAAN
1. Sejarah
DPD
PERIODE
|
BENTUK
NEGARA
|
NAMA
BADAN
|
JUMLAH
|
KETERANGAN
|
Pasca kemerdekaan (1945-1949)
|
Republik
|
Badan Pekerja Komite Nasionl
|
25 orang: 17 orang dipilih sidang, 8 orang dipilih dari daerah
|
Anggota dari daerah inilah merupakan cikal bakal terbentuknya usur daerah
dalam lembaga Negara
|
RIS (1949)
|
Republik Indonesia Serikat (RIS)
|
Senat
|
Setiap daerah bagian diwakili 2 orang
|
·
Menggunakan konstitusi UUD RIS dimana susunan lembaga-lembaga
negara berubah
·
Anggota senat ditunjuk oeh pemerintah daerah
bagian
·
Salah satu syarat telah berusia 30 tahun ke atas
|
UUDS (1950)
|
Kesatuan
|
Dihapuskan
|
-
|
· Konsekuensi
digunakan UUDS-yang disahkan Presiden Soekarno tahun 1950- Struktur kelembagaan
berubah
· Lembaga
legislatif hanya DPR
· Senat
dihapus karena tidak ada daerah-daerah bagian dalam Negara kesatuan
|
Pasca Dekrit Presiden (1959-1969)
|
Republik
|
Utusan Daerah
|
94 orang (PP No. 150/1959)
|
· Struktur
kelembagaan negara mengikuti UUD 1945 (Dekrit 5 Juli 1959)
· Dibentuk
MPRS (sebelum MPR) terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan
Golongan
· Setiap 24
daerah diwakili 3-5 orang dimana pencalonan dilakukan oleh DPRD dan
diputuskan oleh Presiden Soekarno
|
Orde baru (1969-1999)
|
Republik
|
Utusan Daerah
|
131 orang (27 provinsi)
|
· Sesuai
dengan UU No. 16/ 1969 mekanisme pemilihan anggota berubah
· UD di MPR
terdiri dari gubernur dan anggota lain yang dipilih oleh DPRD melalui
pemilihan yang sangat ketat (Litsus)
· Sebagian
besar berasal dari Golkar karena mayoritas DPRD telah dikuasai mesin politik
Orba ini.
· Setiap
provinsi ditetapkan 4-7 Orang
· Di MPR
perwakilan daerah ditambah di Fraksi UD (F-UD)
|
Reformasi (1999-2004)
|
Republik
|
Utusan Daerah
|
135 orang
|
· Berakhirnya
Orba menguatkan keberadaan utusan daerah (UU No. 4/ 1999 tentag Susduk MPR,
DPR, DPRD)
· Penentuan
anggota lewat proses pemilihan DPRD (tanpa intervensi penguasa lagi)
· Setiap
provinsi mengirim 5 anggota (seluruh anggota MPR 700 orang)
· SU MPR 1999
menghapuskan F-UD dimasukkan kepada partai asalnya
· ST MPR 2001
F-UD kembali diakui MPR
|
Amandemen UUD 1945 (Sejak 2004)
|
Republik
|
Menuju Dewan Perwakilan Daerah
|
Diwakii 4 orang (hasil pemekaran wilayah)
|
· Amandemen
UUD 1945 selesai tahun 2002 yang mengubah struktur lembaga negara.
· Unsur
perwakila daerah diwadahi dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama
DPR merupakan bagian dari MPR
· Proses
pemilihan tidak lewat DPRD tapi melalui pemilu 2004 dan dipilih langsung oleh
rakyat.
· Namun
fungsinya tidak sekuat DPR (terutama dalam legislasi)
· Jumlah keseluruhan
anggota tidak boleh lebih dari sepertiga anggota MPR
· Calon
anggota harus independen dan tidak berafiliasi pada parpol tertentu.
|
Sumber: Buku Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia Oleh Formappi
2. Struktur DPD
Sesuai dengan kompromi politik diantara fraksi-fraksi di Panitia Ad Hoc I
MPR pada proses amandemen UUD 1945 ketiga tahun 2001, yaitu kesepakatan untuk
membentuk DPD yang anggota-anggota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilu, setiap propinsi diwakili oleh empat orang, jumlah keseluruhan anggota
tidak lebih dari sepertiga anggota DPR[1]. Dan
ini berlanjut hingga penetapan Amandemen UUD 1945 yang keempat.
Berdasarkanhaltersebut, jumlahkeseluruhan DPD adalahempat
orangperwakilandikalitigapuluhempatjumlahpropinsi yang ada di Indonesia,
berartijumlahkeseuruhanjumlah DPD yang ada di Indonesia berjumlah 136
danterakhirdipiliholehmasyarakat Indonesia melaluipemilupada 9 April 2014 yang
merupakanlembaga DPD periodeketiga.
Pimpinan DPD adalahkelembagaan DPD danmerupakan satukesatuanpimpinan yang
bersifatkolektif. Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan
sebanyak-banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota
dalam sidangparipurna DPD. Pimpinan
DPD periode 2014-2019 terdiriatas: IrmanGusman (ketua DPD), Farouk Muhammad
(wakil ketua) danGustiKanjengRatuHemas (wakil ketua).
Berikutalat-alatkelembagaan
DPD:
1) Komite I
2) Komite II
3) Komie III
4) Komite IV
5) PanitiaPerancangUndang-Undang
6) PanitiaUrusanRumahTangga
7) BadanKehormatan
8) BadanKerjasamaAntarParlemen
9) BadanPengembanganKapasitasKelembagaan
10) BadanAkuntabilitasPublik
11) PanitiaMusyawarah[2]
Setiapanggota, kecualiPimpinan DPD,
harusmenjadianggotasalahsatumasing-masingalatkelengkapanDPD.
Penggantiananggotamasing-masingalatkelengkapan DPD dapatdilakukanberdasarkanpermusyawaratananggotadariPropinsi
yang bersangkutandandiusulkankepadaPimpinan DPD.
Untukmendukungpelaksanaantugas DPD dibentukjuga Sekretaris JenderalDewanPerwakilan
Daerah Republik Indonesia(disingkatSetjenDPD RI) yang
personilnyaterdiriataspegawainegerisipil yang
diangkatdandiberhentikanolehPresidenatasusulPimpinan DPD.Setjen DPD RI
dibentukpertama kali berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2003 yang
kemudiandigantidengan UU Nomor 27 Tahun 2009 danterakhir UU Nomor 17 Tahun
2014.
3. Tujuan
pembentukan DPD
a.
Sebagai wujud representasi teritorial atau daerah
yang berbasis wilayah propinsi dengan maksud untuk menyempurnakan struktur
lembaga perwakilan tingkat nasional yang sebelumnya hanya terdiri atas DPR yang
lebih merupakan representasi politik berbasis penduduk.Mengingat sejarah
politik Indonesia yang selalu diwarnai ketegangan dan konflik dalam hubungan
Pusat-Daerah. Begitu pula realitas ketimpangan distribusi penduduk antara Jawa
yang sangat padat dan luar Jawa penduduknya relatif tidak padat.
b.
Dalam rangka melembaganya sistem saling mengawasi
(Check and Balance) secara internal parlemen di tingkat nasional. Pada akhirya kelak
diharapkan melembaga pula sistem saling mengawasi antar berbagai cabang
kekuasaan dalam bangunan sistem demorasi presidensial Indonesia yang stabil dan
efektif.
c.
Ekspektasi yang begitu tinggi terhadap masa depan
agenda desentralisasi dan otonomi yang lebih luas bagi daerah, juga menjadi
dasar optimisme dari keberadaan DPD.
4. Fungsi
DPD
Sesuai
dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi,
pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut:
a.
Fungsi Legislasi
1)
Dapat mengajukan rancangan undangan-undangan (RUU)
kepada DPR
2)
Ikut membahas RUU
Bidang terkait: Otonom
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, perimbangan
keuangan pusat da daerah.
b.
Fungsi Pertimbangan
1)
Memberikan pertimbangan kepada DPR
c.
Fungsi pengawasan
1)
Dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
2)
Menerima
hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK
Bidang Terkait : Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya
alam serta sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); Pajak, pendidikan,
dan agama.[3]
Dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 pasal 41:
a.
Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan memberikan
pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
b.
Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.[4]
Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 Orang. Dengan demikian jumlah anggota
DPD saat ini adalah seharusnya 136 orang. Masa jabatan aggota DPD adalah 5
Tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan
sumpah/ janji.
B. GAMBARAN
KASUS
Kasus: “Judicial
Review dan Revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPRD,DPD)”
Selasa, 8 Juli 2014
MPR, DPR, DPD, dan DPRD rapat paripurna
|
Pengambilan keputusan pembicaraan
tingkat II atas naskah RUU. Pengesahan UU nomor 17 tahun 2014 atas perubahan UU
nomor 27 tahun 2009 tentang MD3.
(Sumber:
http//www.bijaks.net/scandal/index/13094-kontroversi-undang-dash-undang-md3/)
Penetapan UU tersebut menuai banyak
reaksi, dan memunculkan berbagai pihak yang menggunggat ke MK
1.
Koalisi untuk perjuangan keterwakilan perempuan a.n: Rieke Dyah
Pitaloka dan Khofifah Indar Prawangsa. Menggunggat 7 pasal
2.
Perkumpulan masyarakat pembaharuan peradilan pidana. Menggugat
pasal 245 yang terdiri dari tiga ayat
3.
Febi Yoneta dan J.J. Rizal. Menggugat pasal 245 yang terdiri dari
tiga ayat
4.
PDIP a.n: Megawati Soekarno Putri mengajukan 7 pasal
5.
DPD menguji 21 pasal yakni:
a.
Pasal 71 huruf c
b.
Pasal 72
c.
Pasal 165
d.
Pasal 166
e.
Pasal 166 ayat 2
f.
Pasal 167 ayat 1
g.
Pasal 170 ayat 5
h.
Pasal 171 ayat 1
i.
Pasal 174 ayat 4
j.
Pasal 174 ayat 5
k.
Pasal 224 ayat 5
l.
Pasal 245 ayat 1
m.
Pasal 249 huruf b
n.
Pasal 250 ayat 1
o.
Pasal 252 ayat 4
p.
Pasal 258 ayat 1
q.
Pasal 276 ayat 1
r.
Pasal 277 ayat 1
s.
Pasal 281
t.
Pasal 305
u.
Pasal 307 ayat 2 (Sumber: Metronews.com)
Kamis, 14
agustus 2014
|
Sidang paripurna DPD menyetujui
pengajuan permohonan pengujian formil dan materiil “UU Nomor 17 tahun 2014”
yang dilakukan digedung nusantara V kompleks MPR/DPR/DPD. (Sumber: Republika.co.id)
Berdasarkan keterangan dari laman DPD, anggota DPD I Wayan Sudirta
menjelaskan UU MD3 telah inkonstitusional secara formil dan materiil.
Inkonstitusional formil di antaranya, (1) UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi. Seharusnya UU MPR, UU DPR, dan UU DPD diadakan secara tersendiri.
(2) Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 – 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.(3) Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.Inkonstitusional materiil yaitu inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, hubungan antarlembaga perwakilan, dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.I Wayan Sudirta mencontohkan inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi di antaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD, disaring oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
Pokok-pokok inkonstitusionalitas dalam hubungan antarlembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketidaksejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi di antaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR.Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. ”UU ini sangat ganjil dan diskriminatif," kata Wayan.Pokok-pokok Inkonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN di antaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan AkuntabilitasKeuangan Negara. (Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/28/283767/hari-ini-mk-mulai-adili-gugatan-uu-md3)
Inkonstitusional formil di antaranya, (1) UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi. Seharusnya UU MPR, UU DPR, dan UU DPD diadakan secara tersendiri.
(2) Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 – 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.(3) Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.Inkonstitusional materiil yaitu inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, hubungan antarlembaga perwakilan, dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.I Wayan Sudirta mencontohkan inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi di antaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD, disaring oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
Pokok-pokok inkonstitusionalitas dalam hubungan antarlembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketidaksejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi di antaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR.Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. ”UU ini sangat ganjil dan diskriminatif," kata Wayan.Pokok-pokok Inkonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN di antaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan AkuntabilitasKeuangan Negara. (Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/28/283767/hari-ini-mk-mulai-adili-gugatan-uu-md3)
Jumat, 15
Agustus 2014
|
Pada pukul 13.00 wibtim legitasi DPD
dengan ketua I Wayan Sudirta bersama kuasa hukum mendaftarkan permohonannya ke
MK (Jalan Merdeka Barat nomor 6 Jakarta Pusat) dengan nomor perkara
79/PUU-XII/2014. (Sumber: republika.co.id)
Kamis, 28 Agustus 2014
|
Rabu, 10 September 2014
|
Sidang MK agenda perbaikan
permohonan (2)
Selasa, 23 September 2014
|
Senin, 29 September 2014
|
Selasa, 25 November 2014
|
Rapat legislasi melibatkan
pemerintah, DPR, DPD
Rabu, 26 November 2014
|
Laporan badan legislasi DPR-RI dan
pendapat fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan terhadap usul inisiatif
anggota DPR-RI tentang penetapan RUU perubahan UU No. 17 Tahun 2014 tentang
MD3. Dalam prolegnas 2014 masa keanggotaan DPR-RI periode 2014-2019.
Selasa, 2 Desember 2014
|
DPR mengadakan rapat pengganti
musyawarah untuk membahas revisi UU MD3
Jumat, 5 Desember 2014
|
DPR rapat paripurna pembentukan Pansus
revisi UU MD3 pada pukul 13.00 wib (hanya berlangsung sekitar 5 menit). Pansus
melakukan pembahasan tingkat I UU MD3 atas perubahan yang disepakati KIH dan
KMP dengan Pemerintah, DPD (hanya membutuhkan waktu kurang 3 jam), dalam rapat
tersebut DPD mengajukan 13 usulan. Akan tetapi pansus dari DPD memilih Walk Out
karena tak terima posisi DPD dipertanyakan dalam rapat oleh sebagian anggota
pansus DPR khususnya dari F-Demokrat dan PKS. Pembahasan rapat juga berjalan
alot karena Pansus menganulir 13 usulan yang beberapa waktu lalu disampaikan DPD
kepada Baleg DPR.
Berikut 13 poin usulan DPD:
1.
Usulan Perubahan Pasal 71, huruf c, menjadi: "DPR berwenang
membahas rancangan UU yang diajukan oleh Presiden, DPR atau DPD... dan seterusnya"
2.
Usulan perubahan Pasal 72, huruf h, menjadi:
"DPR bertugas (h.1) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
dilakukan oleh DPD atas pelaksanaan UU. (h.2.) membahas dan menindaklanjuti
pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK."
3.
Usulan perubahan Pasal 164, ayat 5, menjadi: "Rancangan
UU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada
presiden dan kepada pimpinan DPD untuk RUU sebagaimana dimaksud pasal 71 huruf
c."
4.
Usulan perubahan Pasal 165, ayat 2, menjadi: "....diajukan
kepada DPR dan DPD". Penambahan pasal (2a): ".....disampaikan juga kepada
DPD."
5.
Usulan perubahan Pasal 166,
ayat 2, menjadi: "Rancangan UU beserta penjelasan atau keterangan dan/atau
naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR dan kepada presiden". Dan ayat 5 menjadi:
"DPR, DPD dan presiden.....dst".
6.
Usulan penghapusan Pasal 170, ayat 5.
7.
Usulan perubahan Pasal 171,
pasal 1, huruf a, menjadi: "Penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, dan hasil pembicaraan tingkat I". Penambahan (a.1.)
"Penyampaian pendapat akhir DPD".
8.
Usulan perubahan Pasal 249, ayat 2, menjadi: "Dalam
menjalankan wewenang dan tugas, anggota DPD .....dst".
9.
Usulan perubahan Pasal 250, ayat 1, menjadi: "Dalam
melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana pasal 249, DPD memiliki kemandirian
menyusun anggaran......dst".
10.
Usulan perubahan Pasal 259, ayat 1, menjadi: "Alat kelengkapan
DPD terdiri atas: (a) pimpinan, (b) badan musyawarah, (c) komisi, (d) badan
legislasi, (e) badan kerjasama antar parlemen, (f) badan kehormatan, (g) badan
urusan rumah tangga, (h) panitia khusus, (i) alat kelengkapan lain yang
diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna."
11.
Usulan perubahan Pasal 276, ayat 1, menjadi: "DPD dapat
mengajukan rancangan UU berdasarkan program legislasi nasional dan rancangan UU
di luar program legislasi nasional sesuai dengan ketentuan UU yang
berlaku".
12.
Usulan perubahan Pasal 281, menjadi: DPR memberikan pertimbangan
terhadap rancangan UU kepada DPD".
13.
Usulan perubahan Pasal 284, ayat 1, menjadi: ".....huruf d
beserta rekomendasi kepada DPR dan kepada pejabat atau pihak terkait untuk
ditindaklanjuti."
Usulan di atas pada intinya untuk
memperkuat kewenangan lembaga Negara yang konsen pada kebijakan daerah tersebut
di daerah. (Sumber: Liputan6.com).
Hari itu juga, DPR juga mengesahkan
revisi UU No. 17 tahun 2014 menjadi UU oleh ketua DPR Setyo Novanto atas
persetujuan dari seluruh peserta rapat terhadap perubahan UUMD3 yang telah
dibacakan oleh ketua Pansus (proses
pengesahan RUU MD3 menjadi UUMD3
berlangsung lebih kurang 40 menit).(Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2014/12/06/08380521/Tujuh.Jam.Satu.Undang-undang).
Berikut pasa-pasal yang disahkan DPR
hasil revisi. Yaitu Pasal 74 ayat 3, 4, 5 dan 6 dihapus. Pasal 97 ayat 2
diubah. Pasal 98 ayat 7, 8, dan 9 dihapus. Pasal 104 ayat 2 diubah. Pasal 115
ayat 2 diubah. Pasal 121 ayat 2 diubah. Pasal 152 ayat 2 diubah. Terakhir
penambahan Pasal 425A. Pengesahan revisi UU MD3 ini menjadi titik akhir
perseteruan antara KIH dengan KMP atas drama panjang seteru terkait bagi-bagi
kursi untuk komisi dan alat kelengkapan dewan lain. (Sumber: http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=38857).
C. ANALISA
KASUS
1.
Tugas dan Kewenangan
Tugas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah:
a.
DPD dapat mengajukan
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonominya, serta yang berkaitan
dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Juga menyampaikan pengawasan
atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah
b.
DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah
bersama DPR dan Presiden yang berkaitan dengan hal yang dimaksud dalam huruf
(a)
c.
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
d.
Menerima
hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat
pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
(UUD
1945 Pasal 22D dan UU No.22 Tahun 2003 Pasal 42, 43 dan 45)
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 adalah:
Pasal
46:
(1)
DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumberdaya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
(3)
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Pasal
47:
DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa
Keuangan untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang Hak dan
Kewajiban
Hak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah:
Pasal
48:
DPD mempunyai hak:
a.
Mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksudkan pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada DPR
b.
Ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana
pasal 43 ayat (1)
Pasal
49:
Anggota DPD mempunyai hak:
a. Menyampaikan usul dan pendapat;
b. Memilih dan dipilih;
c. Membela diri;
d. Imunitas;
e. Protokoler; dan
f. Keuangan dan administratif.
Pasal
50:
Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a. Mengamalkan Pancasila;
b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
d. Mempertahankan dan memelihara
kerukunan nasional dan keutuhan negarakesatuan Republik Indonesia;
e. Memperhatikan upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat;
f. Menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakatdan daerah;
g. Mendahulukan kepentingan negara di
atas kepentingan pribadi, kelompok, dangolongan;
h. Memberikan pertanggungjawaban secara
moral dan politis kepada pemilih dandaerah pemilihannya;
i.
Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD
j.
Menjaga etika dan norma adat daerah yang
diwakilinya.[5]
2.
Opini.
1)
Pendapat Para Tokoh.
a.
Menurut Pakar Tata Hukum Negara, Margarito Kamis
menilai permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan oleh DPD kepada Mahkamaha
Konstitusi (MK) harus disertai dengan argumen yang kokoh. "Kalaulah
DPD mempersoalkan rumusan kewenangan mereka, DPD memiliki legal standing
mengajukan permohonan judicial review. Persoalannya adalah seberapa
hebat konstruksi argumen untuk mematahkan pasal-pasal yang mengandung pemetasan
kewenangan mereka," kata Margarito
Menurut
Margarito, argumen yang kokoh akan memperlihatkan adanya diskriminasi pembuatan
UU MD3 dalam memperlakukan DPD. Perlunya argumen dari tokoh-tokoh Tata Negara
dalam persidangan di MK harus dipersiapkan sejak awal. Pendapat Margito juga
berkaitan dengan kewenangan DPD yang harus direvisi yakni bahwa DPD harus disertakan
dalam perumusan setiap tahapan sampai pengambilan keputusan atar RUU MD3 sampai
pengambilan keputusan, Seperti yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA),
pajak daerah, pembentukan dan penggabungan daerah, dan sebagainya.
b.
Menurut Ni’matul Huda, pasca ditetapkannya keputusan MK tentang
pengujian UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3, seharusnya semua upaya yang
mereduksi peran dan wewenang DPD RI sesuai UUD 1945 merupakan tindakan
inkonstitusional. Ni’ma juga mengatakan bahwa tidak diikutsertakannya DPD RI
dalam penyusunan UU No. 17 tahun 2014 membuat UU tersebut cacat secara
prosedur.
“Tindakan DPR yang mereduksi peran dan wewenang DPD sangat
mengecewakan masyarakat. Dalam hal pengajuan RUU, RUU usul DPD juga tidak
diperlakukan setara dengan RUU usul Pemerintah dan DPR. Karena dalam prosesnya
RUU DPD menjadi RUU usul DPR dalam sistem prolegnas. Padahal peran DPD juga
sangat penting dalam menjaga marwah NKRI, dimana DPD dapat mencegah pihak-pihak
yang menghendaki NKRI menjadi negara federal,” papar Ni’matul yang juga pernah
mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi.
c.
Anggota DPR dari Fraksi PPP, Achmad Dimyati Natakusuma,
berpandangan DPD mesti dilibatkan dalam pembahasan RUU MD3. Menurutnya, dengan
tidak melibatkan DPD, sama halnya DPR mengesampingkan putusan MK. Aturan lain
yang mengamanatkan keterlibatan DPD terdapat dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan. “Meski
tak ikut memutuskan sebuah RUU, dalam pembahasan mesti dilibatkan,” ujarnya di
Gedung DPR, Rabu (26/11).
d.
Wakil Ketua DPR
Agus Hermanto mengatakan pembahasan RUU MD3 tak melibatkan DPD. Ia beralasan revisi
terhadap UU No.17 Tahun 2014 itu
terbatas pada kewenangan DPR. Ia berpandangan jika melibatkan DPD dikhawatirkan
pembahasan bakal berlangsung panjang. Padahal target penyelesaian Revisi UU MD3
adalah 5 Desember 2014. Sedangkan Per 6 Desember DPR sudah memasuki masa reses.“Kalau
melibatkan DPD, revisinya tidak akan selesai-selesai, karena akan merembet
meluas ke masalah terkait isu-isu DPD dan pembahasannya akan berlarut-larut,”
ujarnya. Sebagaimana diketahui, KIH dan KMP menyepakati penghapusan sejumlah
ayat dalam Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3, yang menyangkut hak interpelasi di
tingkat komisi. Soalnya, aturan penggunaan hak interpelasi dalam UU MD3
bersifat mengulang lantaran telah diatur dalam pasal lain. “Sehingga belum
saatnya kalau kita harus membahas keterlibatan dengan DPD,” pungkasnya.
2)
Pendapat Kelompok.
Dalam setiap pembahasan yang meyangkut DPD,
maka tidak ada alasan untuk tidak menyertakan anggota DPD dalam rapat meskipun
dalam pengambilan keputusan dalam sidang paripurna, namun DPD juga harus diberi
kesempatan dalam pembahasan. Sebelum DPR mengesahkan UU MD3 pada 8 Juli 2014,
Undang-undang tersebut revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2009 yang dibatalkan MK.
Adanya Dewan Perwakilan Daerah adalah hasil
amandemen UUD 1945, setelah adanya amandemen maka posisi DPD sejajar dengan DPR
yakni sebagai lembaga Legislatif. Ketika dalam rapat revisi UUD MD3 Dewan
Perwakilan Daerah tidak di ikutsertakan, maka wajar jika dari pihak DPD Merasa
diabaikan, karena hakikatnya kedudukan DPD sama seperti DPR. Sesuai dengan Teori
yang di paparkan oleh Montesquei bahwa Lembaga Legislatif berfungsi sebagai
lembaga yang menjalankan peraturan dan perundang-undangan, termasuk lembaga
yang bekerja untuk mengadili pelanggaran peraturan dan perundang-undangan.
Sebenarnya, permasalahan tentang Lembaga
Perwakilan Daerah ini bukanlah masalah yang hadir baru-baru ini. Pada awal
gagasan pembentukannya, DPD pun sudah menjadi pembiaraan yang cukup serius dikalangan
para petinggi Negara. Misalnya dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ke-tiga
terjadi perdebatan antar fraksi. Dimana fraksi PDIP dan fraksi TNI yang menolak
lembaga perwakilan terpisah yang mewakili daerah karena diandang cenderung
mengarah pada federalisme. Sebaliknya F-Golkar mengusulkan pembentukan suatu
lembaga perwakilan daerah secara terpisah dengan otoritas yang sama seperti
DPR. Sedang fraksi-fraksi yang lain cenderung memiliki sifat politik di tengah
keduanya. Masalah lain kemudian yang muncul setelah pembentukan DPD adalah
kewenangan DPD yang terasa seakan pincang, yakni sebagai bagian dari parlemen
nasional yang kewenangan legislasinya lebih disubordinasikan kepada DPR
ketimbang benar-benar menjadi “kamar kedua” parlemen nasioanal. Masalah-masalah
tersebut bisa jadi muncul dikarenakan DPR yang merupakan politisi partai tidak
mau kekuasaannya hilang atau berkurang mengingat MPR sekarang turut serta diisi
oleh DPD yang notabennya bukan orang dari partai politik.
Kasus DPD diatas, bisa jadi merupakan salah
satu permasalah yang timbul karena kurang jelasnya fungsi legislasi DPD dan
masih lemahnya kedudukan DPD dalam parlemen nasional Indonesia. Pasalnya revisi
UUMD3 nomor 17 tahun 2014 meskipun pada awalnya menyertakan DPD, akan tetapi
karena alasan dipertanyakannya keberadaan DPD oleh beberapa fraksi dalam rapat
Pansus yang dibentuk DPR dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut,
membuat perwakilan DPD walk out. Jika demikian, maka dalam revisi undang-undang
tersebut DPD tidak dilibatkan, mengingat setelah rapat tersebut kemudian DPR
menggelar rapat paripurna dan langsung mengesahkannya. Tidak dilibatkannya DPD
dalam revisi tersebut bisa berpotensi menimbulkan sengketa antar lembaga
perwakilan, mengingat pada Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014 yang menerangkan bahwa
pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPD, begitu juga revisinya harus
melibatkan DPD. Seluruh UU yang mengurangi fungsi tugas DPD bisa dianggap
inkonstitusional.
Kemudian jika alasan revisi tersebut tidak
melibatkan DPD dikarenakan Undang-Undang tersebut tidak ada kaitannya sama
sekali oleh DPD dan hanya membahas tentang kewenangan DPR, akan tetapi DPD yang
memiliki kewenangan meskipun hanya memberi putusan dan pertimbangan tanpa bisa
ikut dalam mengambil keputusan harusnya juga dihargai dan diakomodir. Untuk
itu, mungkin tepat jika wacana UUMD3 diadakan secara tersendiri sebagaimana
yang diusulkan DPD, agar tidak terjadi hal semacam ini. Selanjutnya, jika
keikutsertaan DPD dalam revisi tersebut dirasaakan memperlambat proses revisi
tersebut mengingat waktunya yang berhimpit dengan masa reses. Alasan ini,
sebenarnya sudah ditanggapi oleh DPD, bahwa mereka siap kerja maraton membantu
DPR menyelesaikan revisi tersebut karena sesuai dengan Undang-Undang dan
putusan MK DPD harus ikut membahas didalamnya. Jadi, sebenarnya alasan
keberadaan DPD sangat jelas dan kuat dalam proses revisi tersebut.
Kemudian jika DPD terlihat ngotot dan ingin
sekali terlibat dalam proses revisi tersebut, sebenarnya hal tersebut sah dan
wajar-wajar saja. Mengingat selama ini keberadaan mereka oleh pemerintah dan
DPR sering diabikan, karena sebelumnya DPR juga mengabaikan peran aktif DPD
dalam proses revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menjadi UU Nomor 17
tahun 2014. Mengingat bahwa keberadaan DPD sebagai perwakilan daerah memiliki
peran penting yang mengakomodasi aspirai daerah, sebagai bentuk bagian dari
desentralisasi daerah, dan sebagai penyeimbang dari ketimpangan daerah-daerah
di Indonesia khususnya Jawa dan luar Jawa. Seperti diketahui pula, sejarah politik
Indonesia yang diwarnai pergolakan pusat dan daerah yang tercermin dari kasus
pemberontakan PRRI di Sumatera (1958) yang kemudian didukung oleh Permesta di
Sulawesi pada tahun yang sama, dan kekuasaan yang terpusat pada masa Orba,
yakni Rezim Soeharto, merupakan alasan-alasan yang kuat untuk mengakui dan
mengakomodasi lembaga DPD sehigga lembaga ini dapat memiliki kewenangan setara
dengan DPR yang tentunya sesuai dengan tujuan awalnya sebagai lembaga
perwakilan berbasis daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kasus diatas pada dasarnya adalah adalah salah satu
uapaya DPD dalam memperjaunagkan lembaga perwakilan yang selama ini posisinya
seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan DPR, keberadaan dari DPD seakan-akan
hanya sebagai pelengkap dari DPR. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Dasar
1945 sebenarnya kedudukan keduanya adalah sama.
Oleh karena itu, untuk kedepannya semoga kasus
seperti ini tidak lagi terualang kembali dan saling menghormati antar lembaga
tanpa ada egoisme masing-masing, mengingat pada dasarnya baik DPR atau pun DPD
keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam kelembagaan Indonesia. Dimana
DPR sebagai wujud representasi berbasis rakyat dan DPD sebagai lembaga
perwakilan berbasis daerah.
B.
SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari
materi terkait pembahasan DPD, kita dapat memahami materi yang telah
dipaparkan. Sehingga dapat mengetahui bagaimana kedudukan DPD dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia, khususnya pada Era jauh setelah Reformasi
seperti saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
FORMAPPI
(Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia). 2005. LEMBAGA PERWAKILAN
RAKYAT DI INDONESIA: Studi Analisis Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945.
Jakarta. AusAID.
Haris,
Syamsuddin. 2014. PARTAI, PEMILU, DAN PARLEMEN Era Reformasi. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
UUD
1945.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
[1] Syamsuddin Haris, PARTAI,
PEMILU DAN PARLEMEN Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), hlm:216
[2] Dpd.go.id.
[3]http://www.dpd.go.id/subhalaman-fungsi-tugas--wewenang Diakses pada hari Jumat,
tanggal 08 Mei 2015 pukul 13.46.
[4] Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), Lembaga
Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi analisis sebelum dan setelah perubahan
UUD 1945, (Jakarta: AusAID, 2005), hlm. 161.
[5]Lihat Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan
Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
No comments:
Post a Comment