MAKALAH
HUKUM ISLAM PADA MASA BANI
UMAYYAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tarikh Tasyrik
Dosen pengampu : Drs. Mohamad Solek, MA.
Oleh
:
Ahmad
Zamroni 1402026035
Izzatus Shulhiya
1402026020
Agung Pangestu 1402026028
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang
Tahun
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dinasti
umayyah merupakan dinasti besar yang didirikan oleh Muawiyyah Ibn Abi Sufyan
Ibn Harb Ibn Umayyah (masa pemerintahan 661-750 M). Ibunya bernama Hindun binti
‘Utbah Ibn Rabiah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf.[1]
Muawiyyah lahir di kota Mekah tahun 607 M[2]
dan memeluk agama Islam pada usia 23 Tahun bersama dengan tokoh-tokoh Quraisy
lainnya. Keislamannya terus dibina oleh Nabi dan beliau banyak meriwayatkan
hadist baik yang langsung dari Rosulullah maupun hadist dari para sahabat.
Penamaan
Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syam Abdi Manaf. Ummayah
merupakan salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliyah. Umayyah sendiri
berasal dari golongan bangsawan kaya serta mempunyai kerabat yang banyak, hal
ini merupakan faktor pendukung yang menjadikan Dinasti ini besar dan dihormati,
dinasti Umayyah juga dapat mengembangkan agama Islam sebagai penerus dari
keempat Khalifah setelah Rasulullah Wafat.
Antara hukum
Islam dari masa Rosulullah sampai pada masa Dinasti Umayyah banyak mengalami
perkembangan yang signifikan. Ketika pada masa Rasul dalam penyelesaian
masalah, umat islam langsung bisa menanyakan kepada Nabi Muhammad, dan jawaban
dari Rasulullah akan menjadi sumber hukum bagi umat muslim. Setelah beliau
wafat, selain menggunakan Al-qur’an dan Hadist sebagai dasar hukum Islam, maka
telah berkembang adanya Ijma’ dan Qiyas.
Pada bahasan
kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam
pada masa tabi’in khususnya pada masa Dinasti Umayyah, seperti yang telah
dijelaskan diatas mengenai waktu kepemimpinan dan masa pemerintahan hampir 90
tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran sekte-sekte yang timbul
pada masa ini, juga pengaruh pemikiran-pemikiran pada masa Bani Umayyah.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1. Bagaimana kondisi dan perkembangan Hukum
Islam pada masa Bani Umayyah/masa tabi’in?
2. Bagaimana Sumber-sumber Hukum Islam pada
masa Bani Umayyah?
3. Bagaimana pengaruh Ahlul Hadist dan
Ahlul Ra’yi pada masa Bani Umayyah?
4. Bagaimana Hukum Islam Khawarij, Syi’ah,
dan Jumhur?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi
dan Perkembangan Hukum Isam pada Masa Bani Umayyah/Masa Tabi’in
Perkembangan hukum islam (fiqh) pada masa bani Umayyah atau masa tabiin[3]
sebenarnya masih banyak menimbulkan kebingungan. Kebingungan itu didasari karena adanya pergolakan-pergolakan
yang muncul pada masa kekhalifahan. Utsman dan Ali, akhirnya memuncak pada
pemerintahan daulah Umayyah kemudian melahirkan agitasi teologis yang cukup
tajam. Pergolakan tersebut justru membawa pegaruh besar terhadap perkembangan
hukum islam. Sehingga mengantarkan pada masa kodifikasi dan munculnya para imam
madzhab.[4]
Periode ini disebut ‘am al-jama’ah (tahun persatuan) karena bersatunya
pendapat jumhur untuk melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah.[5]
Secara umum
para tabi’in pada masa itu mengikuti manhaj (metode, kaidah) sahabat dalam
mencari hukum. Mereka merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist dan apabila tidak
mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah
itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Ada kecenderungan dari beberapa ahli hukum islam (fuqaha) yang memandang bahwa
hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak hanya menggunakan rasio
dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga
memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberikan hukumnya.
Aliran
pemikiran dengan menggunakan rasionalitas ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid
an Nakha’l, seorang ahli fiqh irak Hammad Bin Sulaiman yang banyak mewariskan
pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Walaupun banyak ahli fiqh yang
memegang hukum rasionalitas, namun aliran ini banyak mendapatkan tanggapan dan
tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang
menganggap aliran ini telah banyak menyeleweng dari manhaj sahabat. Bahkan dianggap
berpaling dari ajaran Rasulullah SAW.
Dengan adanya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki
krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Dalam I’lamul Muqi’l karangan Ibnul Qayyim Al-Jauziy, Ibnu
Syihab Zuhri seorang ahli hadist pada masa itu pernah mengatakan, “sesungguhnya
orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai
disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran.”
Dari banyaknya
kotroversi terhadap pemikiran rasionalitas kemudian meluasnya ruang ikhtilaf
periode hukum pada masa bani Umayyah. Dr. Tahaha Jabir dalam bukunya “Adabul
Ikhtilaf Fil Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu
sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Usman adalah
khalifah pertma yang mengijinkan para sahabat untuk pergi dari madinah dan
menyebar ke berbagai daerah dan lebih dari 300 sahabat pergi ke basrah dan
kufah, sebagian lagi pergi ke Mesir dan Syam.[6]
Dari Penyebaran
para sahabat memberikan peluang yang sangat besar dalam perluasan ikhtilaf
dikalangan tabi’in. hal itu juga menjadi faktor perkembangan dari fiqih yang
disebabkan karena masing-masing tabi’in memiliki perbedaan situasi, kebiasaan
dan kebudayaan, disamping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fiqih dalam
mengantisipasi masalah yang muncul.
Dalam
mengatasi masalah yang ada, sering juga terjadi perbedaan dalam pengambilan
hukum, hal ini karena perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat.
Persoalan juga tidak hanya sampai disitu, pergolakan-pergolakan yang berbau
politik dan kekuasaan juga sering terjadi. Terbunuhnya Utsman bin Affan dan
pindahnya markas kekhalifahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai
kontroversi yang banyak memakan korban jiwa. Ikhtilaf semakin meruncing ketika
kontroversi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan daulah Umayyah
menimbulkan aliran dan sekte. Pada saai itu muncul aliran Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah,
dan lain sebagainya.[7]
B. Sumber-sumber
Hukum Islam pada Masa Bani Umayyah
Pada masa
sahabat, usaha yang sangat positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-qur’an dalam
satu mushaf. Ide pembukuan Al-qur’an datang dari usulan Umar bin Khattab, atas
dasar karena banyaknya sahabat yang hafal Al-qur’an gugur dalam peperangan. Ide
tersebut disampaikan kepada Abu bakar, pada awalnya abu bakar menolak ide
tersebut karena pada masa rosulullah tidak pernah terjadi pembukuan Al-qur’an.
Kemudian Abu bakar menerima ide tersebut dan menugaskan Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat
Al-qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah kurma, kulit-kulit
binatang, dan yng dihfal oleh sahabat.[8]
Selain itu,
pada periode ini setiap ada persoalan fuqaha kembali kepada Al-qur’an sebagai
dasar agama, kemudian merujuk kepada sunah nabi jika tidak ditemukan hukum
suatu masalahnya dalam Al-qur’an. Jika dari kedua warisan itu tidak ditemukan
ketentuan hukumnya, mereka berkumpul bermusyawarah untuk membicarakan persoalan
itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan hukum dari persoalan yang
mereka hadapi yang kemudia dikenal dengan Ijma’.[9]
Pada masa
sahabat, kaum muslimin telah memiliki sumber rujukan utama yakni al-qur’an dan
hadist, namun ketika kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum
dari suatu kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri baik dengan cara
Qiyas atau berpedoman kepada kemaslahatan umat.[10]
C. Pengaruh
Ahlul Hadist dan Ahlul Ra’yi pada Masa Bani Umayyah
Sejarah Islam
mencatatkan, kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah dimasa Nabi SAW.
Dan khulafa al-Rasyidin, Damaskus dimasa dinasti Umayyah, dan Baghdad dimasa
dinasti Abbasiyyah. Ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi penguasa , fokus
kepemimpinannya lebih cenderung kepada bidang politik, sehingga pemikiran
politik dan keagamaan berjalan sendiri-sendiri.
Peran akal
juga merupakan hal yang penting dalam menjembatani kesenjangan teks keagamaan
dengan persoalan baru dalam perkembangan selanjutnya, dalam hukum Islam dikenal
kelompok “Ahlur Ra’yi”, kelompok yang berani menggunakan akal, yang berkembang
di Irak, dan kelompok “Ahlul Hadist”, kelompok yang terikat sekali dengan teks
harfiyah Al-qur’an dan Al Hadist, yang berkembang di Hijaz. Kedua kelompok ini
muncul bukan karena rekayasa pemerintah atau kepentingan salah satu golongan
dalam pemerintahan, namun murni dari ketulusan hati mereka untuk memberlakukan
syari’at Allah dimuka bumi. Perkembangan pemikiran ini berada diluar kontrol
pemerintahan, karena para pemegang pemerintahan bukanlah orang-orang yang
menguasai pengetahuan Agama.[11]
1.
Ahlul Hadist
Dalam
masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran
wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain bahwa ajaran
islam diperoleh dari Al-qur’an dan petunjuk dari Hadist. Mulanya aliran ini
timbul di Hijaz, utamanya di Madinah. Karena penduduk di Madinah lebih mengenal
hadist dibandingkan penduduk luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota islam,
beredar hadist Nabi SAW yang jauh lebih banyak dan lengkap dibanding dengan
daerah lain.
Pada masa
Khulafaur Rasyidin, sumber hukum islam adalah apa yang disampaikan oleh Nabi,
yakni Al-qur’an dan Hadist. Dimasa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa
sahabat ketika menentukan suat hukum. Pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul
Aziz dikenal masa permulaan pembukuan Hadist. Kekhawatiran khalifah akan
semakin tidak terurusnya hadist-hadist. Semenjak awal perhimpunan hingga
pemilihan hadist shahih dari yang tidak sahih, adalah kebanggaan tersendiri
dalam menyelamatkan syari’at Islam.
2.
Ahlul Ra’yi
Ahlul
Ra’yi digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum islam yang memberikan
porsi akal lebih banyak dibanding dengan pemikiran lainnya. Bila kelompok lain
sangat terikat oleh teks nash, maka kelompok ini tidak terikat, mereka lebih
leluasa dalam penggunaan akal. Kelompok Ahlul Ra’yi bukannya meninggalkan
hadist dalam setiap penetapan hukum, namun mereka berpendapat bahwa nash
mempunyai tujuan dan tafsiran tertentu, sehingga mereka berusaha untuk
memecahkan suatu masalah dengan pemikiran dari manusia sendiri.
Sedang
kelompok Ahlul Hadist lebih memperhatikan penguasaan hafalan nash dan
mengamalkan sesuai dengan bunyi nash tersebut. Pada beberapa hadist, seperti:
a.
Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor
kambing
b.
Zakat fitrah satu gantang kurma atau gandum
Ulama ahlul
ra’yi memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyrik, bukan redaksinya.
Sehingga 40 ekor kambing untuk zakatnya bisa berupa barang lain sesuai
kebutuhan masyarakat dengan seharga sesuai dengan satu ekor kambing. Begitu
juga dengan zakat fitrah, boleh menggunakan bahan makanan lain yang seharga
dengan ketentuan zakat fitrah.[12]
Lain halnya dengan ahli hadist yang melihat hadist secara lahiriah dan tidak
membahas ‘illat. Mereka juga tidak menakwilkan nash secara rasional. Menurut
mereka, zakat tidak sah dengan harga seekor kambing atau harga kurma dan susu
pada kasus tersebut. Antara ahli hadist dan ahli ra’yu terdapat beberapa
perbedaan, berikut ini pemaparannya:
1.
Ahli hadist hanya berpedoman pada Al-qur’an dan
hadist. Sementara ahli ra’yu berpedoman pada Al-qur’an, hadist, dan ra’yu.
2.
Ahli hadist melihat teks secara lahiriah tanpa
menggali ‘illat hukum dan maslahat yang dibenarkan. Sementara itu, ahli ra’yu
menggali ‘illat hukum, menghubungkan satu masalah dengan masalah lain, dan
berkeyakinan bahwa semua hukum pasti mengandung maslahat.
3.
Ketika ahli hadist dihadapkan suatu masalah yang
tidak ada didalam nash memilih untuk diam. Sementara itu, ahli ra’yu mengkaji
yang tersirat didalam nash dengan didasarkan pada ruh syariat.[13]
D. Hukum
Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur
Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis,
tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Seperti contoh
menurut golongan Syi’ah, Ijma’ dan Qiyas bukan sebagai sumber hukum dalam
Islam. Sebab hukum Isam dapat diambil dari Al-qur’an dan As Sunah dan para
imam-imam mereka yang ma’sum.[14]
Diantara pendapat mereka tentang hukum Islam adalah sebagai berikut:[15]
1.
Nikah
mut’ah adalah termasuk syari’at Islam, tidak termasuk golongan mereka jika
tidak menghalalkannya.
2.
Wanita
hanya dapat mewaris benda bergerak dari mayit.
3.
Waktu
shalat hanya ada tiga, yaitu pertama, Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus
pada waktu salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan sekaligus pada
waktu salah satunya), ketiga shubuh.
Sedangkan khawarij berpendapat bahwa pemimpin
itu untuk umat dan umatlah yang berhak memilih dan memberhentikannya. Diantara
pendapat mereka adalah bahwa perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga
iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam perbuatan. Dalam babakan
hukum Islam, kaum ini mempunyai beberapa pendapat diantaranya:
1.
Tidak
ada hukuman rajam bagi wanita pezina mukhsan
2.
Boleh
berwasiat untuk ahli waris dan menolak hadits “tidak ada wasiat untuk ahli
waris”. Sebab hadits ini dipandang bertentangan dengan ayat al Qur’an
“diwajibkan atas kamu wasiat bagi kedua orang tua dan sanak kerabat apabila
kamu hendak meninggal”.
3.
Thaharah
untuk ibadah shalat adalah suci lahir batin. Kata-kata bohong, kotor,
permusuhan dan lain-lain merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusak
thaharah.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Masa kekuasaan Bani Umayyah yakni 661-750 M, pada
masa ini seringkali diwarnai konflik politik antar golongan. Pada masa ini
sumber hukum diambil dari Al-qur’an, hadist dan juga Ijma’ para sahabat. Adanya
golongan ahlul hadist dan ahlul ra’yi juga menjadikan berkembangnya hukum Islam
pada masa itu. Meskipun tidak jarang perbedaan itu juga berakibat adanya
perbedaan hukum pada masalah yang sama. Pada masa ini pula timbul beberapa
sekte dari agama Islam, seperti Syi’ah, khawarij, dan juga dari Jumhur.
Pandangan mereka juga berbeda mengenai hukum dalam Islam.
B.
SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari
materi ini maka diharapkan mampu mengerti tentang perkembangan hukum Islam pada
masa tabi’in, yakni pada masa Bani Umayyah.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A.
1993. Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar. Bandung: Orba Shakti.
Khallad, Abdul
Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. Yogyakarta: Dua Dimensi.
Khon, Abdul
Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari
Masa ke Masa. Jakarta: Amzah.
Koto,
Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Press.
Sirry, Mun’im
A. 1995. Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Suntiah, Ratu
dan Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media
Foundation.
Syahid, IAIN.
1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Ulwani, Thaha
Jabir Fayyadh. 1981. Adabul Ikhtilaf fil Islam. Amerika: Al-Ma’had
Al’Alami.
Zuhri, Muh.
tt. Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1] Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:
Interes Media Foundation, 2014), hlm. 85
[2] IAIN Syahid, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), hlm. 660.
[3] Tabi’in adalah orang-orang yang bertemu dengan sahabat.
[4] Mun’im A.Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm.49.
[5] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan
Hukum Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 64.
[6] Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam,
(Amerika: Al-Ma’had Al’alami, 1981), hlm.21.
[7] Abdul Wahhab Khallad, Ikhtisar sejarah Hukum Islam,
(Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm.51.
[8] A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar, (Bandung: Orba
Shakti, 1993), Hlm.124.
[9] Mun’im A.Sirry, Op.cit, hlm.34
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:
Rajawali Press, 2006), hlm.16.
[11] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, tt), hlm.66.
[12] Muh. Zuhri, Op.Cit, hlm. 70.
[13] Abdul Majid Khon, Op.cit, hlm. 77.
[14] Mun’im A. Sirry, Op.cit, hlm. 54.
[15] Muh. Zuhri, Op.cit, hlm. 62.
No comments:
Post a Comment