Sunday 7 June 2015

HUKUM ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH



MAKALAH
HUKUM ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tarikh Tasyrik
Dosen pengampu : Drs. Mohamad Solek, MA.











Oleh :
Ahmad Zamroni   1402026035
Izzatus Shulhiya 1402026020
Agung Pangestu 1402026028
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
                                                  Tahun 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dinasti umayyah merupakan dinasti besar yang didirikan oleh Muawiyyah Ibn Abi Sufyan Ibn Harb Ibn Umayyah (masa pemerintahan 661-750 M). Ibunya bernama Hindun binti ‘Utbah Ibn Rabiah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf.[1] Muawiyyah lahir di kota Mekah tahun 607 M[2] dan memeluk agama Islam pada usia 23 Tahun bersama dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Keislamannya terus dibina oleh Nabi dan beliau banyak meriwayatkan hadist baik yang langsung dari Rosulullah maupun hadist dari para sahabat.
Penamaan Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syam Abdi Manaf. Ummayah merupakan salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliyah. Umayyah sendiri berasal dari golongan bangsawan kaya serta mempunyai kerabat yang banyak, hal ini merupakan faktor pendukung yang menjadikan Dinasti ini besar dan dihormati, dinasti Umayyah juga dapat mengembangkan agama Islam sebagai penerus dari keempat Khalifah setelah Rasulullah Wafat.
Antara hukum Islam dari masa Rosulullah sampai pada masa Dinasti Umayyah banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Ketika pada masa Rasul dalam penyelesaian masalah, umat islam langsung bisa menanyakan kepada Nabi Muhammad, dan jawaban dari Rasulullah akan menjadi sumber hukum bagi umat muslim. Setelah beliau wafat, selain menggunakan Al-qur’an dan Hadist sebagai dasar hukum Islam, maka telah berkembang adanya Ijma’ dan Qiyas.
Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa Dinasti Umayyah, seperti yang telah dijelaskan diatas mengenai waktu kepemimpinan dan masa pemerintahan hampir 90 tahun. Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran sekte-sekte yang timbul pada masa ini, juga pengaruh pemikiran-pemikiran pada masa Bani Umayyah.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1.      Bagaimana kondisi dan perkembangan Hukum Islam pada masa Bani Umayyah/masa tabi’in?
2.      Bagaimana Sumber-sumber Hukum Islam pada masa Bani Umayyah?
3.      Bagaimana pengaruh Ahlul Hadist dan Ahlul Ra’yi pada masa Bani Umayyah?
4.      Bagaimana Hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur?
















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Kondisi dan Perkembangan Hukum Isam pada Masa Bani Umayyah/Masa Tabi’in
Perkembangan hukum islam (fiqh) pada masa bani Umayyah atau masa tabiin[3] sebenarnya masih banyak menimbulkan kebingungan. Kebingungan itu didasari karena adanya pergolakan-pergolakan yang muncul pada masa kekhalifahan. Utsman dan Ali, akhirnya memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah kemudian melahirkan agitasi teologis yang cukup tajam. Pergolakan tersebut justru membawa pegaruh besar terhadap perkembangan hukum islam. Sehingga mengantarkan pada masa kodifikasi dan munculnya para imam madzhab.[4] Periode ini disebut ‘am al-jama’ah (tahun persatuan) karena bersatunya pendapat jumhur untuk melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah.[5]
Secara umum para tabi’in pada masa itu mengikuti manhaj (metode, kaidah) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Ada kecenderungan dari beberapa ahli hukum islam (fuqaha) yang memandang bahwa hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak hanya menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberikan hukumnya.
Aliran pemikiran dengan menggunakan rasionalitas ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid an Nakha’l, seorang ahli fiqh irak Hammad Bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Walaupun banyak ahli fiqh yang memegang hukum rasionalitas, namun aliran ini banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah banyak menyeleweng dari manhaj sahabat. Bahkan dianggap berpaling dari ajaran Rasulullah SAW.
Dengan adanya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam I’lamul Muqi’l karangan Ibnul Qayyim Al-Jauziy, Ibnu Syihab Zuhri seorang ahli hadist pada masa itu pernah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran.”
Dari banyaknya kotroversi terhadap pemikiran rasionalitas kemudian meluasnya ruang ikhtilaf periode hukum pada masa bani Umayyah. Dr. Tahaha Jabir dalam bukunya “Adabul Ikhtilaf Fil Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf itu sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Usman adalah khalifah pertma yang mengijinkan para sahabat untuk pergi dari madinah dan menyebar ke berbagai daerah dan lebih dari 300 sahabat pergi ke basrah dan kufah, sebagian lagi pergi ke Mesir dan Syam.[6]
Dari Penyebaran para sahabat memberikan peluang yang sangat besar dalam perluasan ikhtilaf dikalangan tabi’in. hal itu juga menjadi faktor perkembangan dari fiqih yang disebabkan karena masing-masing tabi’in memiliki perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fiqih dalam mengantisipasi masalah yang muncul.
Dalam mengatasi masalah yang ada, sering juga terjadi perbedaan dalam pengambilan hukum, hal ini karena perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat. Persoalan juga tidak hanya sampai disitu, pergolakan-pergolakan yang berbau politik dan kekuasaan juga sering terjadi. Terbunuhnya Utsman bin Affan dan pindahnya markas kekhalifahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai kontroversi yang banyak memakan korban jiwa. Ikhtilaf semakin meruncing ketika kontroversi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan daulah Umayyah menimbulkan aliran dan sekte. Pada saai itu muncul aliran Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain sebagainya.[7]



B.     Sumber-sumber Hukum Islam pada Masa Bani Umayyah
Pada masa sahabat, usaha yang sangat positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-qur’an dalam satu mushaf. Ide pembukuan Al-qur’an datang dari usulan Umar bin Khattab, atas dasar karena banyaknya sahabat yang hafal Al-qur’an gugur dalam peperangan. Ide tersebut disampaikan kepada Abu bakar, pada awalnya abu bakar menolak ide tersebut karena pada masa rosulullah tidak pernah terjadi pembukuan Al-qur’an. Kemudian Abu bakar menerima ide tersebut dan menugaskan Zaid  Bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah kurma, kulit-kulit binatang, dan yng dihfal oleh sahabat.[8]
Selain itu, pada periode ini setiap ada persoalan fuqaha kembali kepada Al-qur’an sebagai dasar agama, kemudian merujuk kepada sunah nabi jika tidak ditemukan hukum suatu masalahnya dalam Al-qur’an. Jika dari kedua warisan itu tidak ditemukan ketentuan hukumnya, mereka berkumpul bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudia dikenal dengan Ijma’.[9]
Pada masa sahabat, kaum muslimin telah memiliki sumber rujukan utama yakni al-qur’an dan hadist, namun ketika kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri baik dengan cara Qiyas atau berpedoman kepada kemaslahatan umat.[10]

C.    Pengaruh Ahlul Hadist dan Ahlul Ra’yi pada Masa Bani Umayyah
Sejarah Islam mencatatkan, kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah dimasa Nabi SAW. Dan khulafa al-Rasyidin, Damaskus dimasa dinasti Umayyah, dan Baghdad dimasa dinasti Abbasiyyah. Ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi penguasa , fokus kepemimpinannya lebih cenderung kepada bidang politik, sehingga pemikiran politik dan keagamaan berjalan sendiri-sendiri.
Peran akal juga merupakan hal yang penting dalam menjembatani kesenjangan teks keagamaan dengan persoalan baru dalam perkembangan selanjutnya, dalam hukum Islam dikenal kelompok “Ahlur Ra’yi”, kelompok yang berani menggunakan akal, yang berkembang di Irak, dan kelompok “Ahlul Hadist”, kelompok yang terikat sekali dengan teks harfiyah Al-qur’an dan Al Hadist, yang berkembang di Hijaz. Kedua kelompok ini muncul bukan karena rekayasa pemerintah atau kepentingan salah satu golongan dalam pemerintahan, namun murni dari ketulusan hati mereka untuk memberlakukan syari’at Allah dimuka bumi. Perkembangan pemikiran ini berada diluar kontrol pemerintahan, karena para pemegang pemerintahan bukanlah orang-orang yang menguasai pengetahuan Agama.[11]
1.    Ahlul Hadist
Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain bahwa ajaran islam diperoleh dari Al-qur’an dan petunjuk dari Hadist. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah. Karena penduduk di Madinah lebih mengenal hadist dibandingkan penduduk luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota islam, beredar hadist Nabi SAW yang jauh lebih banyak dan lengkap dibanding dengan daerah lain.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, sumber hukum islam adalah apa yang disampaikan oleh Nabi, yakni Al-qur’an dan Hadist. Dimasa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa sahabat ketika menentukan suat hukum. Pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pembukuan Hadist. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadist-hadist. Semenjak awal perhimpunan hingga pemilihan hadist shahih dari yang tidak sahih, adalah kebanggaan tersendiri dalam menyelamatkan syari’at Islam.
2.    Ahlul Ra’yi
Ahlul Ra’yi digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum islam yang memberikan porsi akal lebih banyak dibanding dengan pemikiran lainnya. Bila kelompok lain sangat terikat oleh teks nash, maka kelompok ini tidak terikat, mereka lebih leluasa dalam penggunaan akal. Kelompok Ahlul Ra’yi bukannya meninggalkan hadist dalam setiap penetapan hukum, namun mereka berpendapat bahwa nash mempunyai tujuan dan tafsiran tertentu, sehingga mereka berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan pemikiran dari manusia sendiri.
Sedang kelompok Ahlul Hadist lebih memperhatikan penguasaan hafalan nash dan mengamalkan sesuai dengan bunyi nash tersebut. Pada beberapa hadist, seperti:
a.    Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor kambing
b.    Zakat fitrah satu gantang kurma atau gandum
Ulama ahlul ra’yi memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyrik, bukan redaksinya. Sehingga 40 ekor kambing untuk zakatnya bisa berupa barang lain sesuai kebutuhan masyarakat dengan seharga sesuai dengan satu ekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah, boleh menggunakan bahan makanan lain yang seharga dengan ketentuan zakat fitrah.[12] Lain halnya dengan ahli hadist yang melihat hadist secara lahiriah dan tidak membahas ‘illat. Mereka juga tidak menakwilkan nash secara rasional. Menurut mereka, zakat tidak sah dengan harga seekor kambing atau harga kurma dan susu pada kasus tersebut. Antara ahli hadist dan ahli ra’yu terdapat beberapa perbedaan, berikut ini pemaparannya:
1.    Ahli hadist hanya berpedoman pada Al-qur’an dan hadist. Sementara ahli ra’yu berpedoman pada Al-qur’an, hadist, dan ra’yu.
2.    Ahli hadist melihat teks secara lahiriah tanpa menggali ‘illat hukum dan maslahat yang dibenarkan. Sementara itu, ahli ra’yu menggali ‘illat hukum, menghubungkan satu masalah dengan masalah lain, dan berkeyakinan bahwa semua hukum pasti mengandung maslahat.
3.    Ketika ahli hadist dihadapkan suatu masalah yang tidak ada didalam nash memilih untuk diam. Sementara itu, ahli ra’yu mengkaji yang tersirat didalam nash dengan didasarkan pada ruh syariat.[13]

D.    Hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur
Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis, tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Seperti contoh menurut golongan Syi’ah, Ijma’ dan Qiyas bukan sebagai sumber hukum dalam Islam. Sebab hukum Isam dapat diambil dari Al-qur’an dan As Sunah dan para imam-imam mereka yang ma’sum.[14] Diantara pendapat mereka tentang hukum Islam adalah sebagai berikut:[15]
1.    Nikah mut’ah adalah termasuk syari’at Islam, tidak termasuk golongan mereka jika tidak menghalalkannya.
2.    Wanita hanya dapat mewaris benda bergerak dari mayit.
3.    Waktu shalat hanya ada tiga, yaitu pertama, Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan sekaligus pada waktu salah satunya), ketiga shubuh.
Sedangkan khawarij berpendapat bahwa pemimpin itu untuk umat dan umatlah yang berhak memilih dan memberhentikannya. Diantara pendapat mereka adalah bahwa perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam perbuatan. Dalam babakan hukum Islam, kaum ini mempunyai beberapa pendapat diantaranya:
1.    Tidak ada hukuman rajam bagi wanita pezina mukhsan
2.    Boleh berwasiat untuk ahli waris dan menolak hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris”. Sebab hadits ini dipandang bertentangan dengan ayat al Qur’an “diwajibkan atas kamu wasiat bagi kedua orang tua dan sanak kerabat apabila kamu hendak meninggal”.
3.    Thaharah untuk ibadah shalat adalah suci lahir batin. Kata-kata bohong, kotor, permusuhan dan lain-lain merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusak thaharah.
















BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Masa kekuasaan Bani Umayyah yakni 661-750 M, pada masa ini seringkali diwarnai konflik politik antar golongan. Pada masa ini sumber hukum diambil dari Al-qur’an, hadist dan juga Ijma’ para sahabat. Adanya golongan ahlul hadist dan ahlul ra’yi juga menjadikan berkembangnya hukum Islam pada masa itu. Meskipun tidak jarang perbedaan itu juga berakibat adanya perbedaan hukum pada masalah yang sama. Pada masa ini pula timbul beberapa sekte dari agama Islam, seperti Syi’ah, khawarij, dan juga dari Jumhur. Pandangan mereka juga berbeda mengenai hukum dalam Islam.

B.     SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari materi ini maka diharapkan mampu mengerti tentang perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in, yakni pada masa Bani Umayyah.
















DAFTAR PUSTAKA


Djazuli, A. 1993. Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar. Bandung: Orba Shakti.
Khallad, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. Yogyakarta: Dua Dimensi.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa. Jakarta: Amzah.
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Press.
Sirry, Mun’im A. 1995. Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Suntiah, Ratu dan Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media Foundation.
Syahid, IAIN. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Ulwani, Thaha Jabir Fayyadh. 1981. Adabul Ikhtilaf fil Islam. Amerika: Al-Ma’had Al’Alami.
Zuhri, Muh. tt.  Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


[1] Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Interes Media Foundation, 2014), hlm. 85
[2] IAIN Syahid, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 660.
[3] Tabi’in adalah orang-orang yang bertemu dengan sahabat.
[4] Mun’im A.Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm.49.
[5] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 64.
[6] Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, (Amerika: Al-Ma’had Al’alami, 1981), hlm.21.
[7] Abdul Wahhab Khallad, Ikhtisar sejarah Hukum Islam, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm.51.
[8] A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar, (Bandung: Orba Shakti, 1993), Hlm.124.
[9] Mun’im A.Sirry, Op.cit, hlm.34
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm.16.
[11] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt), hlm.66.
[12] Muh. Zuhri, Op.Cit, hlm. 70.
[13] Abdul Majid Khon, Op.cit, hlm. 77.
[14] Mun’im A. Sirry, Op.cit, hlm. 54.
[15] Muh. Zuhri, Op.cit, hlm. 62.

No comments:

Post a Comment