Monday 29 June 2015

PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT



MAKALAH
PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadist
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I










Oleh :
Ahmad Zamroni (1402026035)
Kelas SJ.A.2

Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
                                                  Tahun 2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan hidup bernegara. Al-qur’an dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik bagi kesejahteraan masyarakatnya. Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Didalam Al-qur’an Surat An-nisa ayat 58 dijelaskan bahwa Allah menyuruh manusia yang diberikan amanat untuk menyampaikannya kepada orang yang berhak menerimanya dan bersikap adil termasuk seorang pemimpin. Hal yang semacam itu akan memberikan manfaat bagi pemimpin yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Dari beberapa penjelasan dalam Al-qur’an, bagaimana pengertian dari pemimpin, dan bagaimana seharusnya sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin atas tugas-tugas yang sudah menjadi kewajibannya.
Sebagai seorang pemimpin, bukan berarti menjadi orang yang paling hebat, karena sesungguhnya pemimpin mempunyai tugas yang sangat berat yakni melayani masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya. Bagaimana tanggungjawab yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin dan bagaimana pula sikap bagi rakyat terhadap pemimpinnya, dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan terkait tanggungjawab bagi seorang pemimpin.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita temukan adalah:
1.      Bagaimana pengertian pemimpin?
2.      Bagaimana tanggungjawab seorang pemimpin?
3.      Jelaskan bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat?

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN PEMIMPIN
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.[1] Menurut Kartini Kartono (1994: 33) Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Kemudian arti dari kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasikan dalam upaya menentukan tujuan dan mencapainya. Ada juga yang mengartikan Kepemimpinan merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.

B.     TANGGUNGJAWAB PEMIMPIN
Pemimpin adalah seseorang yang telah diberi tanggungjawab untuk dapat melaksanakan tugas yang telah diembannya dengan baik. Berikut hadist yang berkaitan dengan tanggungjawab pemimpin:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه (رواه مسلم)

Artinya:
Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. ( HR. Muslim)[2]

Penjelasan hadist tersebut yakni, bahwa setiap orang yang hidup didunia, merupakan seorang pemimpin. Oleh karena itu, setiap pemimpin juga harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak. Bukan hanya bagi seorang kepala negara saja, yang telah diberikan amanah untuk memimpin rakyatnya. Akan tetapi, bagi seorang suami, ibu rumah tangga, bahkan pembantu rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap orang minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan bisa juga menjadi pemimpin bagi orang lain.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, dalam Al-qur’an:[3]
اِنَّ الله يَأْ مُرُ بِا لْعَدْلِ وَ اْلِاحْسَانِ
            Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat baik”
(Q.S. An-Nahl: 90)

... وَاَقْسِطُوْأ اِنَّ الله يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
            Artinya: “ Berlaku adillah kamu. Sungguh Allah menyukai orang yang adil.”
(Q.S. Al-Hujarat: 9)

Dari kedua ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk berbuat adil, kepada siapapun dan dimanapun. Sebagai contoh bagi seorang raja juga harus bersikap adil dan bijaksana terhadap rakyatnya. Dan apabila raja tidak bisa berbuat adil dan berlaku semena-mena dan mengakibatkan rakyat sengsara, maka ia tidak patut dijadikan sebagai seorang pemimpin. Dengan kata lain bahwa seorang pemimpin harus bisa menciptakan keharmonisan antara dirinya dan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya. Sebagaimana hadist Nabi SAW yang berbunyi:

وَعَنْ عَوْ فِ بنِ مَا لِكٍ رَضِيَ االلّه عَنْةُ قَالَ : سَمِعْتَ رَسُوْ لَ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ يَقُوْلُ : خِيَارَ اَئِمَّتِكُمُ اّلَذِ يْ تُحِبُّوْ نَهُمْ وَ يُحِبُّوْنَكُمْ وَ تُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَ يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَ شَرَارُ اَئِمَّتِكُمُ اّلَذِ يْنَ تَبْغُوْنَهُمْ وَيَبْغُنَكُمْ وَتُلْعِنُوْنَكُمْ. قَالَ :قُلْنَا:يَارَسُوْلَ الله ,اَفَلَانُنَابِذُهُمْ؟ قَالَ: لَا, مَاأَقَامُوْافِيْكُمُ الصَّلاَةَ. (رواه مسلم)
Artinya: “Auf bin Malik r.a., berkata ‘saya telah mendengar rosulullah SAW bersabda, Sebaik-baiknya pemimpin ialah kamu cintai dan cinta padamu, dan kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Dan sejahat-jahatnya pemimpinmu ialah yang kamu benci dan mereka pun membenci kamu, dan kamu kutuk dan mereka mengutuk kamu.’ Sahabat Bertanya, “Bolehkah kami menentang (melawan mereka)?” Beliau menjawab, “Tidak selama mereka tetap menegakkan shalat.”[4]
(H.R. Muslim)

Kebahagiaan dan pahala yang besar menunggu para pemimpin yang adil, baik didunia dan terutama kelak diakhirat, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِ وبْنِ الْعَاصِ رَضِيَ االله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا .(رواه مسلم)

Artinya: “Abdullah Ibn Al-Amru Al-Ash berkata, Rasulullah SAW, bersabda,’sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, yaitu mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) mereka”
(H.R. Muslim)

C.    PEMIMPIN ADALAH PELAYAN MASYARAKAT
Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Sebagai seorang pemimpin harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin adalah pelayan masyarakat yang telah dipilih oleh rakyatnya. Orang yang memegang jabatan, berarti telah bersedia menjadi pelayan masyarakat.
Bila dalam tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan, atau didzalimi, maka hukuman bagi orang tersebut adalah penghuni neraka kelak. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntutan ajaran Islam, sebab jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT.[5] Hadis nabi SAW :
حَدِيْثُ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنِ زِيَادٍ عَادَ مَعْقَلَ بْنَ يَسَارٍ فِى مَرَضِهِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقَلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (أخرجه البخاري فى 93-كتاب الأحكام: باب من استرعى رعية فلم ينصح)
Hadist ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasannya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga)” (dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum,” bab: Orang yang diberi amanat Kepemimpinan)[6]
Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT, untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, bagi pemimpin yang sengaja meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama didunia, maka ia tidak mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah diakhirat.[7]
Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa, karena hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang semuanya hanya amanat dari Allah Yang Maha Esa, maka tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sebagimana firman Allah dalam Al-qur’an:
(٢١٥) وَاحْفِضْ جَنَا حَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْ مِنِيْنَ.

Artinya: “Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin”
(QS. Asy-Syu’ara: 215)
Oleh karena itu, agar kaum muslimin terhindar dari pemimpin yang dzalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih seorang pemimpin yang didasarkan pada rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan. Karena jika mereka menjadi pemimpin belum pasti bisa memimpin rakyatnya dengan baik, hal yang semacam itu yang akan mengakibatkan kerugian pada rakyat.
Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kedzaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggungjawab. Pemerintahan yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintahan, hadist Nabi SAW:
وَعَنْ عَا ئِدِبْنِ عَمْرٍو رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّهُ دَ خَلَ عَلَ عُبَيْدِ الله بْنِ زِيَادٍ قَالَ : يَا بُنَيَّ اِنّيِ سَمِعْتُ رَسُوْ لَ الله ص.م. يَقُوْ لُ : اِنَّ شَرَّ الرُّ عَاءِ الْحُطَمَةُ , فَاءِ يَّاكَ اَنْ لَا تَكُوْ نُ مِنْهُمْ. (متفق عليه)
            Artinya: “A’idz bin amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidillah bin Ziyad, ia berkata, hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda. ‘Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintahan yaitu yang paling kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka.” (H.R. Bukhori dan Muslim)[8]

Pemimpin adalah sebagai pelayan dan rakyat adalah sebagai tuan. Pengertian tersebut juga tidak boleh serta merta diterjemahkan secara tekstual saja, melainkan maksud yang terkandung. Bahwa agama islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena sekali lagi hakikat pemimpin adalah melayani kepentigan rakyat.
Apabila seorang pemimpin dapat melaksanakan tugasnya, maka sebagai rakyat juga harus taat dan patuh kepada pemimpin tersebut, rakyat wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkan itu tidak merupakan perbuatan maksiat.[9]




BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan. Dalam agama Islam, seorang pemimpin adalah orang yang dipercaya untuki mengemban tugas kepemimpinan, dan akan mempertanggung jawabkannya dihadapan tuhannya kelak.
Menjadi seorang pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang bebas melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, pemimpin mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi tugas sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, menjadi pelayan atas apa yang menjadi kebutuhan rakyat dalam pelayanan publik erupakan tugas yang harus dapat dipenuhi oleh pemimpin.

B.     SARAN
Penulis menyarankan, setelah mempelajari materi tentang pemimpin dan bagaimana tanggungjawab seorang pemimpin, maka sudah sepatutnya kita mengetahuinya. Agar tidak terjadi salah pengartian terhadap apa itu pemimpin, bagi para pemimpin, hendaknya melaksanakan tugas sesuai dengan yang ada dalam Al-hadist.










DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad. 2003. Mutiara Hadis 6. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Baqi, Muhamad Fuad Abdul. 2003. Al-Lu’lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridha.
Baqi, Muhamad Fuad Abdul. 2003. Kitab Al-Lu’lu Wal Marjan: Terjemahan. Surabaya: Pustaka Alim.
Soenarto, Ahmad. 1999. Terjemahan RiyadusShalihin. Jakarta: Pustaka Alim
Sugandha, Dann. 1986. Kepemimpinan Didalam Administrasi. Bandung: Sinar Baru.
Syafe’I, Rachmat. 2000. Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Dann Sugandha, Kepemimpinan Didalam Administrasi, (Bandung: Sinar Baru, 1986), hlm.62.
[2] Ahmad Soenarto, Terjemahan RiyadusShalihin, (Jakarta: Pustaka Alim, 1999)
[3] Rachmat Syafe’I, Al-Hadis: Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 135.
[4] Ibid, hlm. 135-136.
[5] Muhamad Fuad Abdul Baqi, Kitab Al-Lu’lu Wal Marjan: Terjemah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm.27.
[6] Muhamad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), hlm.263-264.
[7] Rachmat Syafe’I, Op.cit., hlm. 139.
[8] Rachmat Syafe’I, Op.cit, hlm. 140-141.
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 6, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm.29.

No comments:

Post a Comment